Cerpen: Makan Tuh Cupu !



cerpen lucu

“Sinetron kayak begituan ditonton. Gak ada manfaatnya dan gak masuk diakal tau!”, kataku Nafis kepada temanku, Idep.
“Gak masuk diakal gimana maksudnya Fis?”.

“Ya gak masuk diakal lah. Masa ada cowok cakep gitu suka sama cewek cupu”.
“Ya ini film kan cuma viktif belaka Fis. Kalau pun sampai kejadian mungkin bisa diitung pake jari”, jelas Idep yang mungkin sudah berkali-kali menonton film yang seperti itu.

“Tapi tetep aja kan gak masuk akal. Pokoknya gak layak tonton deh”.
Entah karena ocehanku yang menyadarkannya atau entah karena kebelet buang air kecil, Idep pergi meninggalkanku yang terpaksa terduduk didepan tv. Padahal dilayar tv itu jelas-jelas aku melihat sesosok cewek cupu berseragam putih abu-abu, lengkap dengan atribut khas cewek cupu, yaitu baju kedodoran, kaca mata tebal setebal pantat botol kecap yang ada didapur rumahku, ditambah rambut yang (tak begitu) tebal itu dikuncir dua plus poni selamat datang yang kemudian bertemu dengan sosok tampan yang jatuh cinta karena kebaikan (atau kepolosan) si cewek cupu itu.


“Aah, memang sang pengarang cerita terlalu imajinatif atau memang karena tak ada lagi ide cerita yang lain ya. Masa bodoh”, pikirku singkat.

Malam itu aku sengaja menginap dirumah Idep karena ada tugas sekolah yang (mau tak mau, bisa tak bisa dan enak tak enak) harus diselesaikan dan dikumpulkan dihari Seninnya. Maka dari itu aku pun (terpaksa) ikhlas melihat apa yang ditontonnya.

Besoknya dikelas, aku mencium aroma-aroma wewangian yang kurang mengenakkan yang (memaksa) masuk, merasuk, menusuk kedalam hidungku.
“Buseddah.. Do, kamu itu pengharum ruangan berjalan ya? Wangi bener”, seruku sambil mengendus kearah badan kurus Dido yang (sangat) persis dengan tokoh fido dido.

“Sembarangan kamu Fis. Memangnya kamu gak tau ya bakal ada murid baru pindahan dari sekolah diseberang pulau dikelas kita ini?”.

“Memang ada hubungannya ya anak baru itu sama parfum yang kamu pake? Atau kamu beli parfum itu sama dia ya? Atau..”. “Haasstt.. Ngaco kamu Fis. Kita liat aja, anak baru itu pasti cantik dan bakal melirik ke aku karena ketampanan dan keharumanku ini, haha”, tangkasnya yang sangat (kelebihan) PD.

Tak lama kemudian, datanglah ibu guru bahasa Jerman yang selalu me-matching-kan apa yang dipakainya. Mulai dari pakaian, tas, jam tangan, sepatu sampai cashing hendphone-nya pun berwarna sama, memang ajib sekali itu ibu guru satu.
“Anak-anak, pagi ini kita kedatangan murid yang akan menjadi keluarga baru dikelas ini ya. Silahkan perkenalkan diri kamu kepada teman-teman”.

“Terima kasih bu. Perkenalkan nama saya Cuni Purnama (bla bla bla)”, aku tak begitu mendengarkan perkenalannya, karena aku sibuk meledek Dido yang duduk tepat dibelakangku. “Cantik banget ya Do, pas seperti yang kamu bilang tadi”, aku pun tertawa sampai sakit perut, sampai-sampai aku kaget tiba-tiba si anak baru itu sudah duduk santai disebelahku.

“Astaghfirullah, bu, kenapa saya yang jadi korban gini. Gak ada tempat duduk lain yang kosong apa ya”, seruku protes seprotes-protesnya.

“Kamu bisa lihat sendiri kan. Cuma tempat duduk kamu yang kosong”, ujar si ibu guru matching.
“Tapi bu..”. “Rezeki kamu tuh Fis”, Dido balik meledekku.

Tanpa sepengetahuanku Idep berpindah duduk, yang tadinya disebelahku dia jadi duduk dibelakang bersama Dido. “Sial! Aku dibuli Dido dan Idep”, batinku kesal gak ketulungan sambil melirik habis kearah mereka berdua yang tertawa bahagia diatas penderitaanku.

Mungkin ini karena kehebohanku yang selalu memberi petuah-petuah yang (tak begitu) penting untuk Idep, makanya sekarang aku dipertemukan dan disandingkan dengan seorang cewek cupu, persis dengan apa yang aku lihat di film tv itu. Memang kesialan sedang berpihak kepadaku saat ini.

“Ini semua gara-gara kalian. Semenjak si cupu itu duduk disebelahku, hidupku sama sekali jadi tak semangat, apalagi untuk belajar”, curhatku pada Dido dan Idep yang menyebabkan kesemerawutan hidupku ini.
“Haha.. Udah, terima aja Fis. Itung-itung jadi pengalaman dan cerita yang tak terlupakan”, ujar Dido disertai suara cekikian dari Idep.

“Eh Fis, gimana kalau tuh cewek kamu make-over aja. Kayak film yang kemaren aku liat itu loh Fis. Ya siapa tau aja diakhir cerita kalian bisa jadian”, seru Idep memberi saran yang sedikit menantangku, tapi aku tak terima pada pernyataan dia yang terakhir, karena tak akan mungkin dan aku pun tak mau. Amit-amit tujuh turunan deh.

“Ok Dep, aku terima saran kamu itu. Tapi aku gak mau ya kalau sampai jadian sama dia si cupu itu, gak akan mau akunya. Gimana?”, ujarku balik menantang.
“Wah.. Serius kamu Fis? Ok. Setuju”, ujar serentak Idep dan Dido.

Kesemangatan hidupku mulai bangkit kembali tatkala mendapat tantangan dari Idep dan Dido. Dan aku (sangat) yakin bahwa rencana ini akan berhasil.
Besoknya aku pun mencoba mengajak ngobrol si cupu.

“Cun, kamu itu udah berapa abad berpenampilan kayak begini?”, tanyaku (yang sebenarnya karena keterpaksaan).
“Hmm.. Pertanyaan kamu agak aneh deh Fis. Tapi aku juga gak bisa ngitung udah berapa lama aku kayak begini”, jawabnya polos sambil menggerakkan kaca mata super tebalnya itu.

“Dasar ini anak memang dilahirkan untuk cupu kali ya. Polos amat jawabnya”, dalam hatiku sedikit kesal tapi aku harus tetap sabar.
Bel tanda pulang pun berbunyi.

“Cuni, kamu pulang bareng aku ya. Ntar kita mampir ke butik yang terpaling”, ajakku.
“Butik yang terpaling? Maksudnya?”, tanyanya (sangat) heran.

“Iya yang terpaling, paling bisa ngerubah kamu jadi gak cupu lagi. Udah ayo naik”, paksaku menarik tangan si cupu.

Sesampainya dibutik, aku langsung mengambil beberapa baju yang aku rasa cocok dengan Cuni (mulai hari ini aku tak lagi memanggilnya cupu) dan menyuruhnya mencoba baju-baju itu.

“Aduh Fis. Rok ini mini banget, pahaku jadi keliatan. Aku gak nyaman Fis”, protesnya.

Aku pun tak menyerah dan terus mencoba.
“Fis, kebuka banget deh bajunya. Mana gak ada lengannya lagi. Gak biasa aku kayak begini Fis”, protesnya lagi.
“Fis.. Ini gini deh..”. “Fis.. Ini gitu deh..”. “Fis..”.
“Aduuh.. Yaudah yaudah, besok aja kita cari ditempat yang lain”, seruku dan langsung mengajaknya keluar dari butik.

“Aku rasa sedari tadi memang tak ada baju yang cocok dipakai olehnya. Atau memang butiknya yang kurang bagus ya?”, batinku.
Aku hampir putus asa. Namun ku harus tetap melakukan tugas ini. Mau tak mau, ikhlas tak ikhlas, aku harus bisa merubah Cuni.

“Fis, kenapa si cupu masih adem ayem dengan kecupuannya itu? Kamu ada usahakan buat ngerubah dia? Apa karena namanya itu Cuni Purnama ya? Kan kalau disingkat jadi CuPu, jadinya gak bakal bisa ngerubah dia Fis”, tanya Bobi juga mengira-ngira dengan wajah yang sangat menginvestigasi.

“Haha, sabar dong Bob. Butuh waktu yang (lumayan) banyak buat bikin dia berubah. Aku tau kok kalau sampai dia berubah kamu pasti bakal naksir sama dia”, jelasku sambil menyenggol dan melirik Bobi.

“Hueekk..! Mau dibayar berapapun aku tetep gak mau pacaran sama cewek yang mungkin udah ditakdirkan untuk jadi cupu (selama-lamanya) itu Fis. Amit-amit dah”, seru Bobi dengan ekspresinya wajahnya seperti orang yang sedang mengidap penyakit muntaber akut.

Sekitar seminggu ini, kedekatanku dengan Cuni semakin jelas terlihat. Sampai-sampai beredar gossip bahwa aku dan Cuni itu berpacaran. “Oh no! Gak mungkin dan gak akan pernah mungkin!”, teriakku didalam kamar, untung saja tak ada tetangga yang mendengar, dan kebetulan rumah dalam keadaan kosong.

Besok paginya aku berangkat ke sekolah seperti biasa. Salim kedua orang tuaku, lalu mengendarai motorku yang sudah terlihat (sangat) mengkilap. Sesampainya disekolah mulai dari masuk gerbang lalu memarkirkan motorku, kemudian berjalan dilorong menuju ke kelas. Aku hanya berjalan santai tersenyum pada semua siswa, ya seperti biasa, tak ada yang aneh (menurutku).

“Hei Bob, Do. Ada apa dengan kalian? Kenapa bengong gitu ngeliatin aku? Baru nyadar ya kalau aku ini tampan, haha”, ujarku yang sebenarnya masih sangat heran dengan sikap mereka yang mendadak diam seribu bahasa.

“Fis, kamu habis dari rumah kan? Trus, kamu gak ngerasa aneh dengan keadaan kamu sekarang ini?”, tanya Dido dengan sorot mata tajam setajam silet.
“Memangnya kenapa denganku?”, aku mendadak amnesia.

“Ya Tuhan Nafiis.. Aku jadi mau muntah liat kamu. Rambut klimis, baju kedodoran, celana diatas pinggang dan kaca mata super tebal. Aku rasa kamu ketularan cewek cupu itu atau mungkin kamu jatuh cinta sama dia??”, jelas Bobi panjang kali lebar.

Aku pun terbengong dan terperanga melihat penampilanku yang berubah drastis menjadi seorang “cupu”. Pantas saja sedari berangkat dari rumah tadi sampai disekolah, tanpa ku sadari mereka semua memperhatikanku yang berpenampilan super aneh ini.

Tidak sukses mengubah Cuni Purnama menjadi cewek modis, melainkan sukses mengubah diriku menjadi cupu abis. “Good job! Nafis”.


Posting Komentar

10 Komentar

  1. kwakkaka
    ngapa endingnya jadi gini nih

    BalasHapus
  2. haha..
    terserah yg nulis dong :>

    BalasHapus
  3. hattari(trI)16:26

    maap mbak....
    masukan nih...opening okeh...
    ending nya gantung deh..hehehehe
    (sedikit sotoy)

    BalasHapus
  4. hehe.. bukannya gantung tri, tapi memang segitu pengennya penulis, sihihii..

    makasih udah mampir dan sarannya ya tri ^^

    BalasHapus
  5. Anonim00:31

    Kalo mereka pacaran, pasti lebih seru, jadi barengan cupunya deh, hehe..

    by: andri wk

    BalasHapus
  6. ydh deh, anggep aja mereka pacaran ya, hehe..

    BalasHapus
  7. hattari(trI)11:43

    ouchhh...
    iya juga kl penulisnya mau segt, mau keq mana lg...
    haahha...
    oke" mbakkk

    BalasHapus
  8. Balasan
    1. @DaihatsiBali: Makasih Bli, hehe

      Hapus

Haii! Berkomentarlah dengan bijak dan relevan ya. Silakan baca artikel lainnya dan tinggalkan jejakmu. Terima kasih, sampai jumpa!