Cerpen: Kesempatan Cinta



Cerpen: Kesempatan Cinta
Suatu hari aku bertemu dengan seorang teman lama, Ridho. Kami bertemu di tempat kerjaku. Dia mengantarkan adiknya yang mau melamar kerja.

"Vita..." sapa Ridho.

Aku pun menoleh, "Eh, Ridho. Kamu ngapain disini? Sehat Dho?" tanyaku dan kamipun bersalaman.

"Sehat Vit. Aku lagi nganter adik aku, dia mau negalamar kerja disini. Kamu sehat juga kan? Aku baru inget kalau kamu kerja disini," ujar Ridho.

"Sehat. Ini adik kamu yang paling kecil kan ya?" kataku mencoba mengingat.

"Kak Vita ini temen SMAnya bang Ridho kan," tanya Rini, adik Ridho, diapun menyalamiku.

Aku mengangguk, "Iya Rini, dulu tuh kamu masih SMP kelas 1 ya kalau nggak salah, masih imut-imut, sekarang makin cantik," kataku memuji.

"Wah, ada yang seneng niih," celetuk Rini.

"Eh, Hmm... Vit, aku balik dulu ya. Ayo Rin," kata Ridho dan mengajak adiknya pulang.

"Iya Dho, Rini, hati-hati ya," ucapku tersenyum.

Namun Rini lalu berbisik padaku, "Kak, bang Ridho kangen banget tuh sama kakak," ungkapnya dan lalu berlari menyusul Ridho.

Aku tersenyum heran. Semasa SMA, kami satu sekolah dan kebetulan juga satu kelas. Pernah suatu hari kami belajar kelompok di rumahnya, jadi sedikitnya aku mengenal adiknya Rini. Tapi semenjak aku berpacaran dengan Galang saat SMA kelas 3, dia seperti menjauhiku. Galang adalah anak basket terpopuler waktu itu.
***
Sudah waktunya jam makan siang, Galang, yang sampai sekarang masih menjadi pacarku, mengajakku makan siang bersamanya.

"Hi sayang," sapa Galang saat dia menjemputku dengan mobilnya.

Aku hanya tersenyum.

"Kamu kenapa? Tumben dari tadi diem aja," tanya Galang heran.

"Nggak apa-apa kok. Lagi pusing aja banyak kerjaan," jawabku sedikit malas.

"Ooh, kirain kenapa. Ya wajarlah. Namanya juga kerja, pasti ada capeknya, kalau nggak mau capek ya nggak usah kerja, itu tanda orang yang nggak mau sukses, pemalas," begitulah responnya.

Galang memang anak orang kaya. Dia adalah anak tunggal. Usaha orang tuanya ada dimana-mana. Ada satu hal yang membuatku ingin merubahnya adalah kesombongannya juga beberapa sikapnya yang kadang suka merendahkan orang lain. Beberapa kali kami coba membicarakannya, tapi aku pasti selalu kalah dengan segala argumennya. 

Saat kami sampai di resto baru miliknya, aku melihat Ridho. Ternyata dia bekerja sebagai pelayan. Dan terlihat dia berlari menghampiri kami untuk mengantarkan menu.

"Kamu mau pesan apa sayang?" tanya Galang.

"Terserah kamu aja," jawabku, tapi mataku tertuju pada Ridho, dia hanya tertunduk.

"Yaudah, orange juice 2 sama chicken katsu teriyaki 2 ya," ucap Galang.

"Sayang, kamu lihatin siapa sih?" tanya Galang.

"Nggak kok nggak ada," jawabku dan langsung mengalihkan pembicaraan.

Aku melirik sedikit ekspresi Galang yang sedikit heran karena tingkahku.

Sesaat setelah itu, aku sudah kembali ke kantor. Tapi pikiranku masih tertinggal di resto itu, karena Ridho. Akupun seperti melamun dan tak melihat ada cleaning service sedang membersihkan lantai sehingga aku menabraknya.
***
Besoknya aku datang ke kantor pada jam biasanya.

"Rini, kamu ngapain? Sendirian aja?" tanyaku yang melihat Rini sedang duduk di lobi kantor.

"Iya kak, aku di panggil interview. Aku tadi naik ojek kak. Kak Ridho lagi dirumah, dia sakit," jelas Rini, mendengar hal itu, aku berpikir sejenak.

"Hmm... Rini, nanti selesai interview, kamu tunggu disini dulu ya," aku sengaja menyuruhnya menunggu disini karena aku yang akan mengantarkannya pulang nanti.

2 jam berlalu, aku pun kembali menuju lobi memastikan bahwa Rini benar menungguku.

"Kak Vita, aku lolos. Mulai senin besok aku kerja," ungkap Rini gembira.

"Wah, selamat ya Rin. Yuk sekarang kita beli makan siang dulu, habis itu kakak anter kamu pulang ya," Rini pun mengangguk senang, padahal aku sudah tau sebelumnya jika dia diterima.

Dalam perjalanan pulang ke rumah Rini setelah tadi singgah sebentar membeli beberapa buah juga makan siang, kamipun mengobrol panjang.

"Jadi kamu sama bang Ridho tinggal bedua aja?" tanyaku serius.

"Iya kak. Bang Ridho yang selama ini biayain sekolah Rini sekaligus menghidupi kami. Karena itu juga bang Ridho memutuskan untuk berhenti kuliah," cerita Rini.

Orang tua mereka meninggal karena kecelakaan mobil saat Ridho lulus SMA. Mungkin karena itu juga dia lalu menghilang tak berkabar.

Sampailah kami dirumah Rini.

"Assalamu'alaikum. Bang Ridho... Baang... Astaghfirullah bang Ridho...!!" triak Rini dari dalam kamarnya, terlihat Ridho tengah tergeletak dilantai, mungkin dia terjatuh.

Kami berdua langsung mengangkatnya kedalam mobil dan membawanya kerumah sakit.

"Halo sayang, kamu dimana sih?! Aku telponin dari tadi nggak angkat?!" ketika sampai dirumah sakit, aku baru mengecek hp, terlihat 20 panggilan tak terjawab dari Galang.

"Aku lagi dirumah sakit. Nanti aku ceritain sayang. Ni sekarang aku mau balik kantor," aku menjawab seadanya.

"Rini, kamu jangan sedih, abang kamu nggak apa-apa kok. Kakak udah tanya dikter tadi. Sekarang kakak tinggal dulu ya. Tadi udah kakak beliin makan buat kamu, istirahat yang cukup ya. Nanti kalau sempat, kakak pasti mampir," jelasku pada Rini yang tengah menangis disamping Ridho.

Rinipun mengangguk, "Makasih banyak ya Kak Vita."

Aku tersenyum dan berlalu segera menuju kantor.
***
Sesampainya di kantor, aku melihat mobil Galang di parkiran. Dan ternyata dia telah menunggu di dalam ruanganku.

"Kamu dari mana aja sih?! Aku udah dari tadi nungguin kamu. Ada yang ingin aku bicarakan," ujarnya sedikit membentakku.

"Maaf, aku dari rumah sakit, menjenguk seorang teman. Kamu mau bicara apa?" jelas dan tanyaku balik.

"Aku mau pinjam uang kamu lagi. Urgent! Aku nggak mungkin ngomong sama papa, makanya aku datang ke kamu," ini sudah kesekian kalinya Galang meminjam uangku.

"Sayang, yang kemarin aja belum...." omonganku lalu dipotongnya.

"Kan udah aku bilang, aku bakal ganti secepatnya, ini semua demi kita, masa depan kita!" aku mulai tak mengerti apa maksudnya, kenapa tiba-tiba ngomongin masa depan? Entahlah...

"Memangnya kamu butuh berapa?" tanyaku agar semua cepat terakhiri.

"20 juta," jawabnya dan itu membuat aku sangat shock.

"Apa?! Kamu mau ngerampok aku?!" aku mulai kesal dan mencoba mengusirnya dari ruanganku.

"Kenapa kamu jadi ngusir aku?! Ok ok, aku keluar," dia akhirnya keluar tanpa sepatah katapun.

Seluruh isi kantor heran karena keributan yang kami ciptakan. Aku lalu terduduk dikursiku, menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri.

"Maaf bu Vita. Bu Vita nggak apa-apa?" tanya Novi sekretarisku.

Aku menggeleng, "Nggak apa-apa Nov. Novi, tolong batalin semua janji hari ini ya. Saya mau pergi dulu. Makasih Nov," kataku menyampaikan pesan dan pergi meninggalkan kantor.
***
Siang menjelang sore itu sangat kacau. Ini sudah berkali-kali terjadi. Tapi kejadian tadi adalah yang paling parah, memalukan. Aku dalam perjalan menuju rumah sakit, memastikan keadaan Ridho dan Rini baik-baik saja.

Aku mengetuk pintu kamar inap Ridho, "Ridho, syukurlah kamu udah sadar. Eh, ayo kita makan dulu, kalian pasti laper kan?" aku menyempatkan membeli makanan untuk Ridho dan Rini.

"Vita, makasih banyak ya. Tapi... Harusnya kamu jangan ngelakuin ini semua. Aku jadi ngerasa nggak enak sama kamu dan... Pacar kamu," ungkap Ridho.

Aku lalu duduk dikursi yang ada disebelah tempat tidur Ridho, "Hmm... Nggak apa-apa kok Dho. Aku tulus bantu kamu, aku ngerasa punya keluarga baru. Karena aku memang hidup sebatangkara. Dan soal Galang, nggak usah dibahas lah. Aku disini kan mau ketemu sama kamu... hmm, dan Rini," aku mendadak gerogi.

Terlihat Rini senyum-senyum, "Ketemu bang Ridho aja juga nggak apa-apa kok kak," sambungnya.

Aku pun hanya tersenyum, "Hmm... Aku balik dulu ya. Besok aku pasti mampir lagi," pamitku pada mereka berdua.

"Makasih ya kak, makasih ya Vit," jawab mereka berdua.

Aku tersenyum melambaikan tangan dan keluar ruangan. Handphoneku berdering, terbaca nama 'my Galang', aku tak menjawabnya, terasa malas dan tak ingin mendengar suaranya. Dan ini adalah panggilannya yang ke 15x, serta 20x pesan whatsapp.
***
Hari ini setiap Sabtu, kantor libur. Biasanya aku bangun lebih lama. Tapi khusus di hari ini, aku sengaja bangun lebih awal, karena ingin membawakan makanan untuk Ridho dan Rini. Namun pemandangan tak sedap sudah terlihat ketika aku membuka pintu depan.

"Pagi sayang... Ini bunga buat kamu. Maafin aku ya sayang. Aku bener-bener minta maaf. Aku nggak bermaksud buat kamu marah. Please, maafin aku," ungkapnya entah dari hati atau hanya dibibir saja.

Aku menghela napas sejenak dan menerima bunga darinya, "Makasih bunganya. Tapi sekarang aku lagi buru-buru. Kita lanjutin nanti ya Lang," kataku dan bejalan menmembuka pintu mobil, tanpa kata pamit, akupun melaju. Terlihat wajah heran Galang yang kulihat dari spion. Aku merasa lega, dan tumben bisa bersikap seberani tadi.

Sampailah aku dirumah sakit, dan langsung menuju ke kamar inap Ridho. Namun saat aku membuka pintu, terlihat Rini sedang membereskan pakaian Ridho. Dan Ridho pun merapikan tempat tidurnya.

"Loh, Dho, kok beres-beres gini, kamu udah boleh pulang?" tanyaku penasaran.

"Iya Vit. Alhamdulillah, aku juga udah ngerasa baikan kok," jawab Ridho.

"Yaudah, aku antar kalian pulang ya," ajakku dan Ridhopun mengiyakan.

Sesampainya dirumah Ridho, aku membantu menurunkan barang-barang.

"Nah, sekarang kita sarapan dulu yuk. Ini aku sengaja tadi masak buat kalian. Maaf ya kalau nggak enak, hehe..." kataku nyengir, semoga mereka suka, batinku.

"Ya ampun Vita. Nggak usah repot-repot. Aku sama Rini jadi nggak enak," ungkap Ridho.

"Ini enak kok Kak. Ayo bang dimakan, jangan malu-malu, malu-malu laper loh, hihi..." ucap Rini meledek.

Tak lama setelah itu, kami pun selesai makan dan membereskannya. Ridho lalu mengajakku berjalan di persawahan belakang rumah mereka. Kami bercerita banyak tentang masa SMA dulu.

"Sejuknya bener-bener menenangkan ya, semenjak terakhir kali aku kesini, nggak banyak berubah. Eh Dho, kamu inget nggak dulu si Anto hampir mau jatuh kelumpur gara-gara di kejar Lili, haha..." ungkapku mengenang.

"Vita, kamu udah lama juga ya pacaran sama Galang. Aku ingat terakhir kali aku menghindar dari kamu, maafin aku ya Vit. Tapi sekarang kita malah dipertemukan gini," cerita Ridho.

Aku tersenyum, "Kamu nggak salah apa-apa kok minta maaf sih Dho. Tapi aku sempat bertanya-tanya juga kenapa kamu sampe ngehindar gitu."

Disela-sela obrolan kami, tiba-tiba handphoneku berdering, Galang.

"Sayang, kamu dimana? Aku lagi ada didepan rumah kamu. Please! Temui aku sekarang. Aku butuh kamu," ucap Galang, dan aku pun segera menemuinya setelah sebelumnya pamit kepada Ridho dan Rini.

"Hati-hati Vita," hanya itu yang kudengar dari mulut Ridho, ucapannya sedikit lirih.

Sesampainya dirumahku, aku melihat Galang sedang menelpon seseorang dan gaya bahasanya sangat kasar, tapi dia  seperti memohon-mohon kepada orang diujung telepon. Aku tak ingin menaruh curiga padanya.

"Sayang, sayang... Tolong aku, aku butuh 20 juta sekarang," katanya sambil memegang kedua tanganku.

"Kan aku udah bilang sama kamu, aku nggak punya uang sebanyak itu. Kalau kamu mau, aku bisa bantu setengahnya," akupun akhirnya memberikan uang itu.

Galang mengangguk senang, "Makasih sayang, makasih. Ini semua demi masa depan kita, aku janji," katanya, memelukku sekejap dan lalu pergi dengan lajunya.

Helaan napasku seakan terasa lelah. Sepertinya aku harus beristirahat sejenak.
***
Hari Senin ini Rini masuk kerja untuk pertama kalinya. Tepat pukul 7 ini, aku sampai dirumah Ridho untuk menjemput Rini.

"Rini, ayok kita berangkat. Mulai hari ini dan seterusnya, aku bakal jemput kamu. Lagian kita kan satu jalur. Siap untuk hari pertama kerja?" ajakku dan menyemangatinya.

"Siap! Maaf ngerepotin ya kak, makasih banyak," ungkap Rini.

"Abang kamu udah berangkat ya?" tanyaku.

"Udah kak jam setengah 7 tadi," jawab Rini.

Kamipun langsung melaju menuju kantor.

Aku senang bisa melihat Rini tersenyum bahagia. Setidaknya senyuman Rini bisa menghilangkan rasa penatku dari sikap Galang yang seolah semena-mena terhadapku. Semoga hari ini dan seterusnya Rini nyaman bekerja disini.

Sesampainya dikantor, semua karyawan melihatku heran.

"Bu Vita maaf, sudah lihat berita di tv?" Novi sekretarisku menanyakan hal yang tak biasa.

"Kenapa Nov? Ada berita apa memangnya?" tanyaku serius, aku memang jarang menonton tv, lebih sering melihat berita atau yang lainnya melalui handphone, dan pagi ini aku memang belum membukanya.

"Ibu harus lihat ini," sambung Novi.

Sontak aku terkejut setelah melihat Galang ada di acara berita kriminal di tv. Aku membaca judul beritanya yang tertulis 'Seorang bandar sabu terciduk saat transaksi narkoba' yang benar saja. Aku langsung berpikir bahwa uang yang dia pinjam selama ini adalah untuk kegiatan haram itu?! Batinku kacau.

Aku mencoba menghubungi keluarga Galang dan mereka juga tidak menyangka dengan apa yang terjadi pada Galang, anak tunggal mereka.

"Semuanya, kembali bekerja ya. Makasih ya Nov sudah info ke saya," ungkapku mencoba menegarkan diri.
***
Sore ini setelah pulang kerja, aku mencoba menyambangi rumah Galang, sekaĺgus ingin memberi semangat kepada orang tuanya dan ada sesuatu yang harus aku sampaikan.

"Vita, kenapa Galang bisa jadi begini? Om dan tante benar-benar kecewa. Dia telah mencoreng nama baik keluarga ini," tutur papa Galang, dan aku mencoba menenangkan mama Galang dengan  memeluknya.

"Maaf om, Vita juga nggak nyangka Galang bisa berhubungan sama narkoba. Sebelumnya maaf om tante, sudah beberapa kali ini Galang pinjam uang Vita dan jumlahnya nggak sedikit. Tadinya Galang bilang itu semua berkaitan dengan bisnisnya. Maaf om tante, Vita harus cerita ini semua ke om sama tante," jelas dan ungkapku dengan penuh keberanian.

Raut wajah mereka seketika berubah, "Astaga Vita, om benar-benar malu punya anak seperti Galang. Dan om merasa bersalah sama kamu. Jangan khawatir ya Vita, om bakalan ganti semua uang kamu yang dipinjam Galang," jelas papa Galang yang merasa kecewa dengan kelakuan putra semata wayangnya.

"Makasih om tante. Hmm... Ada satu hal lagi yang mau Vita sampaikan. Maaf om tante, sepertinya Vita udah ngerasa nggak cocok sama Galang dan Vita ngerasa Galang itu terlalu over protected sama Vita. Itu yang Vita nggak bisa om tante. Vita tau mungkin itu ungkapan rasa sayang Galang ke Vita. Vita udah bertahan sejauh ini dan mencoba merubah Galang jadi lebih baik, tapi ternyata Vita gagal. Maafin Vita ya om tante," aku merasa menjadi perempuan yang luar biasa berani hari ini, memutuskan hubungan dengan pacar tapi melalui orang tuanya.

Papa dan mama Galang saling pandang, "Nak Vita, om sama tante yang harusnya minta maaf dan berterima kasih sama kamu, karena usaha kamu yang mencoba memperbaiki sikap Galang. Kamu bukannya gagal, hanya saja Galang yang belum bisa meyakinkan dirinya untuk berubah," perkataan papa Galang disambut anggukan oleh mama Galang.

Aku tak menyangka respon mereka sangat baik.

"Sering-sering main kesini ya Vita. Kamu udah tante dan om anggap seperti anak sendiri," lalu mama Galang memelukku dengan erat dan meneteskan air mata.

"Makasih om tante. Vita pamit dulu.
***
Pagi ini aku merasa seperti terlahir kembali. Dengan status baruku yang single available ini. Aku berangkat kekantor dengan penuh semangat, sampai aku hampir lupa menjemput Rini.

"Tuh kak Vita udah dateng. Aku pergi dulu ya bang," pamit Rini pada Ridho.

"Sebentar Rin. Ada yang harus abang omongin sama kak Vita," Ridho menatapku dalam.

"Aku tunggu dimobil ya kak Vit," ujar Rini dan aku menyetujuinya.

"Vita, aku, turut sedih dengar pacar kamu masuk bui kemarin. Yang sabar ya Vit," ungkap Ridho.

Namun dia heran melihatku malah senyum-senyum bahagia, "Dho, aku udah lama nunggu momen ini. Tapi bukan berati aku nggak sedih, sedihnya cuma sih dikiit... Mungkin memang itu balasan yang cocok untuk dia," kataku yang masih senyum-senyum kecil.

"Hmm... Syukur lah kalau kamu nggak terlalu terpuruk. Kalau pun kamu sedih atau butuh sandaran, aku selalu siap sedia kok untuk kamu Vit," kata Ridho sedikit melirikku malu tapi tetap terasa cool.

Senyumku semakin lebar, dan pastinya semakin manis, "maksud kamu Dho?" tanyaku pura-pura lemot.

"Vita, maaf, bukannya aku ambil kesempatan dalam kesempetitan tapi..." aku lalu memotong penjelasan Ridho.

"Jadi aku boleh ya bersandar sama kamu kalau aku lagi sedih? Aku mau Dho," ya, begitulah tingkah kami.

"Jadi kamu terima aku jadi orang teristimewa di hati kamu Vit?" tanyanya lagi memastikan.

Aku pun mengangguk tersenyum bahagia. Disambut genggaman tangan Ridho yang melingkar di tanganku.

"Ada satu hal lagi yang bikin aku bahagia," ujar Ridho.

"Apa tuh? Yang pasti aku juga ikut bahagia," celetukku.

"Pastilah. Mulai kemarin, jabatanku di resto naik, jadi manajer," ungkapnya

"Wah, selamat ya Dho. Jadi sekarang kita adalah 2 orang manajer yang sedang di mabuk asmara ya, haha..." ucapku terlampau bahagia.

"Ehem.. Ayok-ayok bapak dan ibu manajer. Nanti kita telat lho. Ntar pulang kerja lanjut lagi deh mesra-mesraannya," teriak Rini dari dalam mobil.

Sontak tawa malu-malu kami menghiasi di pagi bahagia itu.


Posting Komentar

8 Komentar

  1. enak juga baca-baca cerpenya,, tapi klo bisa maunya harus ada poto-photo ikustrasi orangnya,,,jadi alir ceritanya makin terasa ...

    BalasHapus
    Balasan
    1. @Topik: Makasih sarannya, hehe..

      Hapus
  2. Baca cerpen gini, jadi ingat masa SMA dulu yang suka langganan majalah remaja. Nah, suka banyak cerpen dan kalau membaca selalu berasa terjun di dalamnya. Kreatif banget, salam kenal balik ya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. @Febri: Hehe.. hal yg sama aku lakuin dulu waktu sekolah. makasih banyak udah mampir.

      Hapus
  3. Itu kisah manajer yang nggak pakai cerita kondisi nyatanya: jungkir balik di kantor sampai pulang malem, berani pulang teng-go maka penilaian kinerja melorot drastis.

    BalasHapus
    Balasan
    1. @Dyah: wkwk.. iya agak gimana gitu ya. Makasih kritiknya, hihi

      Hapus
  4. Kunjungan Balik telah selesai..Mantap Blog nya Bu Kynda Erim

    BalasHapus
    Balasan
    1. @mas Doel: siap mas Doel. Makasih kunjungannya.. sering sering ya, hihi

      Hapus

Haii! Berkomentarlah dengan bijak dan relevan ya. Silakan baca artikel lainnya dan tinggalkan jejakmu. Terima kasih, sampai jumpa!