"Hah... Iya. Rasanya nggak sabar pengen cepat - cepat wisuda. Kerja, terus..." omonganku lalu dipotong Mas Raihan.
"... Menikah?" sambungnya.
"Aku buka bimbingan khusus bahasa Inggris di sebelah rumah. Ya biarpun nggak begitu besar, tapi rasanya bahagia bisa ngajarin anak - anak," jelasnya.
"Waah, hebat dong," kataku takjub.
"Bersyukur memang cara terbaik untuk menjawab itu semua. Hana, kita makan dulu ya, setelah itu kita nonton, gimana?" Mas Raihan mengusulkan.
Aku mengangguk tersenyum. Dan aku terkejut ketika tempat makan yang dia pilih adalah di pinggir jalan, bukan direstoran.
"Mas Raihan sering makan disini?" tanyaku heran.
"Lumayan. Kenapa? Nggak apa - apa kan kalau kita makan disini?" Mas Raihan mungkin merasa heran.
Baca juga Cerbung: 11 Januari (Part III)
"Ya nggak apa - apalah Mas. Ini tuh tempat biasa aku sama anak - anak ngumpul. Yang punya itu Om nya Lani," jelasku.
"Haha... Berarti kebetulan ya, atau memang kita jodoh?" mendengar perkataan Mas Raihan itu, seketika aku jadi salah tingkah.
"Haha... Mas Raihan bisa aja deh... Eh, yo ayo duduk disana aja Mas," ajakku yang menunjuk posisi yang tak jauh dari pintu masuk.
Tak berselang lama, pesanan kami pun datang.
"Jadi, kapan kamu wisuda?" tanya Mas Raihan sembari meminum jus jeruknya.
"Sabtu depan Mas. Tapi aku tuh bingung, Siska sama Lani pasti bawa pacar mereka, sementara aku dateng sendiri, karena Ayah bilang bakal ada kerjaan pas ditanggal itu," keluhku pada Mas Raihan.
"Kok kasian banget sih kamu ya," Mas Raihan malah meledekku.
"Makasih buliannya bapak dosen penguji," kesalku bercanda.
"Aku bersedia kok jadi pendamping wisuda kamu, Hana," sontak pernyataan Mas Raihan itu membuatku tersedak.
"Aduh, Mas ini... Bercandanya lucu deh, sampai keselek gini akunya," ucapku sedikit kesal.
"Maaf - maaf. Tapi aku serius. Kamu berkenan nggak?" sejenak aku melihat keseriusan wajah Mas Raihan.
"Boleh," senyumku melebar.
***
Hari Minggu ini, aku sengaja tak kemana - mana.
"Hana, tumben kamu dirumah aja. Nggak ngumpul sama sahabat - sahabat kamu?" tanya Ayah.
"Hehe... Nggak Yah. Lagi pengen dirumah aja. Nih Yah, kopinya diminum dulu. Eh, Ayah mau kemana? Kok udah rapi gitu," ucapku, heran melihat Ayah sudah rapi sepagi ini.
Sambil duduk dan menyeruput kopinya, "Tadinya sih mau ngajak anak Ayah ini jalan-jalan. Tapi dia bilang lagi pengen dirumah aja, ya nggak jadi deh," kata Ayah sedikit meledekku.
Aku tertawa, "Memangnya mau kemana Yah? Ayah sih nggak bilang kalau mau ngajak aku jalan."
"Kamu ganti baju aja dulu, Ayah tunggu di mobil," kata Ayah sambil meminum lagi kopinya sampai tersisa sedikit.
Aku pun bergegas mengganti bajuku dan lalu membereskan gelas dan cemilan dimeja teras, mengunci pintu, dan masuk ke mobil.
Dalam perjalanan, "Terakhir kita jalan pas aku lulus SMP ya Yah, udah lama banget," kenangku dimasa lalu.
"Kalau Ayah libur, kamu selalu narik tangan Ayah, ngajakin ke zoo atau waterpark," kata Ayah ikut mengenang.
"Yah, masih suka rindu Ibu nggak?" tanyaku tentang ibu.
"Rasa rindu Ayah sama Ibu nggak akan pernah hilang. Makanya kita jangan bosen - bosen ngedoain ibu," ungkap Ayah.
Aku mengangguk tersenyum, "Iya Yah."
Ibuku adalah seorang perawat. Ibu meninggal saat sedang bekerja dirumah sakit. Kata Ayah, Ibu punya riwayat sakit jantung dari nenek. Waktu itu aku kelas 3 SMP. Aku sempat terpukul karena kejadian itu. Tapi Ayah meyakinkanku, bahwa masih ada Ayah yang menjaga dan menyayangiku. Aku ingat pesan terakhir Ibu, jadilah perempuan yang tak hanya cantik, tapi juga hebat.
Banyak cerita dalam kebersamaanku dengan Ayah hari ini. Rasanya aku tak inging berpisah dari lelaki hebat dalam hidupku ini. Aku sangat menyayanginya.
"Nah, sudah sampai. Ayo masuk terus istirahat," kata Ayah.
"Ayah, makasih banyak buat jalan - jalannya ya Yah. Hana seneng banget," aku melihat senyum bahagia Ayah.
"Kalau Ayah libur, kamu selalu narik tangan Ayah, ngajakin ke zoo atau waterpark," kata Ayah ikut mengenang.
"Yah, masih suka rindu Ibu nggak?" tanyaku tentang ibu.
"Rasa rindu Ayah sama Ibu nggak akan pernah hilang. Makanya kita jangan bosen - bosen ngedoain ibu," ungkap Ayah.
Aku mengangguk tersenyum, "Iya Yah."
Baca juga Cerpen: Malam Minggu
Ibuku adalah seorang perawat. Ibu meninggal saat sedang bekerja dirumah sakit. Kata Ayah, Ibu punya riwayat sakit jantung dari nenek. Waktu itu aku kelas 3 SMP. Aku sempat terpukul karena kejadian itu. Tapi Ayah meyakinkanku, bahwa masih ada Ayah yang menjaga dan menyayangiku. Aku ingat pesan terakhir Ibu, jadilah perempuan yang tak hanya cantik, tapi juga hebat.
Banyak cerita dalam kebersamaanku dengan Ayah hari ini. Rasanya aku tak inging berpisah dari lelaki hebat dalam hidupku ini. Aku sangat menyayanginya.
"Nah, sudah sampai. Ayo masuk terus istirahat," kata Ayah.
"Ayah, makasih banyak buat jalan - jalannya ya Yah. Hana seneng banget," aku melihat senyum bahagia Ayah.
***
Pagi ini aku terbangun lebih awal. Dan ingin segera membersihkan diri.
"Ayaaah..." aku memanggil Ayah, namun tak ada jawaban, aku lihat di kamarnya juga tidak ada.
"Ayah! Ayah! Bangun Ayah," aku terkejut saat melihat Ayah tergeletak di kamar mandi, aku panik.
Bersambung...
0 Komentar
Haii! Berkomentarlah dengan bijak dan relevan ya. Silakan baca artikel lainnya dan tinggalkan jejakmu. Terima kasih, sampai jumpa!