Pertemuan Senja [End]




Kyndaerim, Blog Cerbung: Pertemuan Senja - Namun, secara tak sengaja tapi bersamaan, aku dan Rendra berteriak sambil melambaikan tangan.

“El..!”

“Nu..!”

“Loh, kamu... Kenal sama Nuel ?” tanyaku dengan heran.

“Kamu juga kenal ?” balas tanya Rendra.

“Di, Kamu kok di sini ?” tanya Nuel.

“Di ?” tanyaku pada Rendra.

“Rendra Suryadi, nama belakangku,” ungkapnya.

“Jadi selama ini, Neera yang kita maksud sama ?!” Nuel terbelalak lalu tertawa.

“Sorry, udah ganggu waktu kalian berdua. Semoga bahagia ya Ra. Aku pamit,”  Nuel pun berlalu.

“Nu ! Kamu salah paham!” teriak Rendra, “Aku bakal jelasin ke kamu. Nuel !”

Aku benar-benar bingung apa yang sebenarnya terjadi.

“Aku kehilangan dia Neera,”

“Ren, tolong jelasin ke aku tentang kalian,” tanyaku dengan cepat.


“Aku dan Nuel bertetangga saat kami masih SMA. Dan lanjut ke perguruan tinggi. Aku masuk swasta, ambil sekolah pariwisata. Dan dia, hukum. Kami memang berbeda dari segi ekonomi, dan pennampilan, haha.. Dia selalu saja jadi pusat perhatian, sementara aku selalu jadi perhatian orang tua, karena kenakalanku yang orang itu sampai geleng-geleng..”

“.. Sampai akhirnya, Nuel menasehatiku, dan mengingatkanku untuk lebih bijak menjalani hidup. Sampai di situ, aku lalu berubah. Makanya sampai sekarang, kami bersahabat. Dia sama sekali nggak melihat perbedaan agama kami.  Tetap saling mensupport dan sampai saat kami..”

“.. Bercerita tentang satu wanita yang ternyata sama,” dia lalu memandangku.

“Neera, mungkin memang kita bukan jodoh. Tapi aku yakin, Nuel adalah orang yang tepat untuk mendampingi kamu,” ungkapnya.

Aku berdegup sejenak, menghela nafas panjang, dan memejamkan mata. Berharap ini semua segera berakhir.

“Ren, kamu tahu dimana Nuel biasa melepas penatnya ?”

“Menyudut dari keramaian saat senja. Aku antar kamu ya,” serunya.

Kamipun bergegas dengan sigapnya.

“Ternyata kita bertiga sama ya, suka senja kalau lagi ada masalah. Kasihan ya si senja, memangnya dia buku diary, tempat mencurahkan isi hati, haha..” celetuk Rendra.

Sontak hal lucu itu membuatku tertawa diperjalanan. Dan benar saja, kami menemukan Nuel sedang berjalan di pinggir pantai, sambil sesekali tertunduk dan kakinya menendang angin.

“Neera, kamu ingat pertama kali kita ketemu ? Mungkin seperti inilah yang aku lakukan. Semoga berhasil Neera,” ujarnya memberiku semangat.

Aku berjalan perlahan di belakang Nuel. Mendengarnya, namun tak ada kata yang keluar, hanya helaan nafas panjang dan tiba-tiba, dia berteriak. Dan itu sangat mengagetkanku.

“Terasa lega ya. Ternyata memang benar, senja yang kita lihat dari pantai, sangat mensugesti untuk bisa menenangkan. Hai, aku Neera,” celetukku dengan tiba-tiba.
“Neera.. Kamu lagi ngapain ?”

Aku tetap menyodorkan tanganku untuk berkenalan.

“Nuel. Ra.. Maksud kamu apa ?”

“Aku cuma takut, karena kejadian tadi, kamu jadi lupa sama aku. Makanya aku ajak kenalan lagi,” lirikku tersenyum, “Masih marah sama Rendra Suryadi ?”

“Ra, aku.. Hanya berusaha mengungkapkan isi hatiku, bahkan mencoba menjafi orang lain. Tapi ternyata aku salah, karena..”

“..Karena menjadi diri sendiri akan lebih baik. Aku suka kamu yang kaku, kamu yang perhatian dalam diam, aku suka kamu tahu apa yang aku mau,” lanjutku lalu tersenyum.

“Nasi goreng ?” diapun tersenyum.

Aku mengangguk tersenyum super manis, “Eh, bentar-bentar..” aku melihat keberadaan Rendra, dan lalu melambaikan tangan padanya. Nuelpun heran melihat sikapku.

“Kamu ngapain Ra ?”

Rendra pun datang dengan tersenyum, “Tuuh, sahabat lucunya datang. Jangan berantem lagi dong,” seruku pada mereka berdua.

“Sorry ya Di, aku nggak mau cuma gara-gara ini persahabatan kita bubar,” Kata Nuel.

“Yaah, wanita kayak Neera memang pantas buat jadi rebutan sih, tapi kamu yang paling pantas mendampinginya,” ungkap Rendra.

Rendra seperti berbisik pada Nuel.
“Oh iya, Neera,” seru Nuel sambil memegang kedua tanganku, dan mengeluarkan kotak kecil berwarna merah beludru, “.. Will you merry me ?” ucap Nuel lembut namun terdengar jelas.

Àku merasa aliran darah dalam tubuhku mengalir lebih deras dan menghangatkan.

“Biarlah senja ini menjadi saksi, cukup hangat sehangat jawabanku, yes i will,” tak terasa air netraku perlahan membasahi pipi, aku terharu.

Sebuah cincin telah melingkar di jari manisku. Cukup manis, namun terasa penuh dengan cinta.

“Alhamdulillah.. Yaahh, aku jadi obat nyamuk deh,” celetuk Rendra sembari menepuk kedua tangannya.

Tawapun menghiasi senja yang semakin tenggelam kala itu.

“Ayo makan nasi goreng. Eh, tapi aku sholat dulu lah.. Kalian duluan aja,” seru Rendra.

Aku dan Nuel menggelengkan kepala, “Kami bakal nungguin kamu kok,” ucap kami serentak.

“Iyaa iyaa.. Pasangan komposer, kompak paling serasi, haha..”

“Haha..” tawa persahabatan pecah di tengah hangatnya senja.

Dari pertemuan ini, aku menyadari, bahwa cahaya senja yang tak cukup terang, mampu menjadikan jiwa menjadi benderang, karena hangatnya yang memeluk erat kegelisahan menjadi kebahagiaan yang tak ternilai. Terima kasih senja, terima kasih Tuhan.

~ E n d ~


Posting Komentar

0 Komentar