Cerbung: Rindu, Ini Terasa Indah III



Cerbung: Rindu, Ini Terasa Indah III

“Ya Tuhaan.. Ini puisi romantis sekali”, ucapku dan memikirkan kira-kira apa isi didalam amplop yang satunya lagi.

Dengan rasa penasaran yang semakin menjadi-jadi, aku pun membuka amplop yang lebih dulu kutemukan.

Dan ternyata, isinya juga puisi. Tulisannya juga sama persis. Apa mungkin pengirim puisi ini adalah orang yang sama?, batinku bertanya dan sangat-sangat penasaran.


“Rindu..
Aku terjebak dalam sebuah ruang..
Namun, aku tak ingin mencari jalan keluar..
Aku hanya ingin menetap..
Menetap diruang itu dan kusebut itu, cinta..

“Ya Tuhan.. Dari siapa sebenarnya surat ini? Aku benar-benar tak bisa mengira siapa pengirimnya”, ucapku yang masih memperhatikan surat-surat itu.

Esok paginya, aku langsung menceritakan hal itu kepada Maya. Dia pun terkejut mendengar ceritaku.

“Aku heran deh liat kamu Ndu. Penampilan kamu itu sederhana sekali, tapi kenapa ya sampai ada yang bisa suka sama kamu”, ledeknya padaku. “Justru itu mungkin yang jadi daya tarik aku May”, ujarku bercanda. Maya hanya tertawa mendengar ucapanku.

“Ndu, Rendi liatin kamu tuh. Eh, dia senyum sama kamu Ndu. Jangan-jangan dia yang ngirim surat itu Ndu”, ujar Maya yang sedikit mengira-ngira. “Gak mungkin May, dia itu kan playgrup”, candaku. “Playboy Nduu, playboy. Perhatiin deh, akhir-akhir ini kan dia sering nyapa kamu”, jelasnya. “Belum tentu juga kan May”, jawabku cuek. “Tapi bisa jadi dia udah taubat Ndu”, ujar Maya mengira-ngira”. Aku pun hanya meliriknya.

Malam ini tiba-tiba aku ingin makan diluar, sendirian.

“Eh, itu kan Bagas. Samperin ah”, ucapku.
“Gas, mau beli makan juga?”, tanyaku. “Eh, Rindu. Iya Ndu. Lagi pengen makan disini. Kamu sama siapa?”, tanyanya balik. “Aku sendiri. Keberatan gak kalo kita makan bareng?”, ajakku. “Makan malam bareng kamu Ndu? Eh. Maksud aku, gak, gak, aku gak keberatan kok Ndu”, jawab Bagas seperti kaget.

Aku dan Bagas duduk disatu meja. Dan sebelumnya, kami sudah memesan.

“Loh, kamu pesen itu juga?”, tanyaku. “Aku memang biasanya pesen nasi goreng ini Ndu. kamu juga ya?”, jawabnya. “Iya Gas, favoritku ya ini”, ujarku.
Selesai makan, tak lama kami pun pulang. Karena rumah kami tidak begitu jauh, maka kami pun berjalan bersama menuju kerumah.

“Gas, kamu itu kerenan pakai baju biasa loh dari pada pakai seragam”, ujarku jujur. “Masa sih Ndu. Kamu ada ada aja”, jawabnya malu-malu. “Beneran Gas”, ujarku lagi meyakinkannya. Bagas terdiam dan tersenyum.

Banyak yang kami obrolkan sepanjang berjalan. Ternyata banyak juga kesamaanku dengan Bagas.

“Ndu..”, panggilnya. “”Iya Gas. Kenapa?”, tanyaku padanya. “Kamu udah baca surat-surat itu kan?”, tanyanya lagi. “Surat? Surat apa Gas?”, tanyaku seakan amnesia. “Ah, gak kok, bukan apa-apa Ndu. Ya udah, makasih udah mau makan bareng aku ya Ndu”, ujarnya dan terus berjalan menuju rumahnya. “Iya, makasih juga udah traktir aku tadi”, jawabku.

Saat masuk kekamar, dan saat aku melihat surat itu diatas meja, aku teringat sesuatu, “Ya Tuhan. Tadi Bagas ada nanya tentang surat ya? Apa mungkin yang dimakksud surat ini? Apa iya dia yang si pengirim surat ini?”, pikirku bertanya-tanya.

Besoknya, aku langsung memberitahukan kejadian kemarin malam pada Maya.

“Bisa jadi sih orang itu dia Ndu. Tapi gak nyangka ya kalo dia suka sama kamu. Kalau memang iya, kamunya gimana Ndu?”, jelas dan tanya Maya. “Hmm.. Banyak kesamaanku sama dia May. Baru itu aku ngobrol sama cowok, nyambung dan..”, omonganku langsung dipotong Maya. “Nahlo Ndu, jangan-jangan kamu.. Suka sama dia yaa..”, ledek Maya. Aku hanya senyum-senyum. “Coba aja kamu tanya Ndu, biar lebih jelas dan gak ribet bikin pusing kayak gini”, ujar Maya memberi saran. Aku pun mengiyakan.

Sepulang sekolah aku mengajak Bagas pulang bareng. Dan Maya pun mengerti maksduku.

“Gas..! Kemarin kamu ada nanya tentang suratkan? Surat ini bukan? Ini kamu yang buat kan Gas?” tanyaku seakan memaksanya menjawab “Iya”. Bagas kaget dengan segerombol pertanyaanku. “Hmm.. Itu ya. Kamu kok yakin banget kalau surat itu dari aku Ndu?”, tanya balik Bagas. Aku berpikir sejenak. “Aku.. Hmm..”. Langkah Bagas terhenti. “Rindu.. Kamu benar. Surat itu memang aku pengirimnya. Kamu jangan marah ya Ndu. Aku Cuma..”, aku pun memotong omongannya. “Gas.. Kenapa aku harus marah. Aku suka sama surat kamu ini. romantis dan awalnya aku gak nyangka kalau pengirimnya itu kamu”, jelasku serius. “Jadi.. Kamu..”. “Iya Gas. Aku juga suka sama kamu”, jawabku tak berbasa-basi. “Kamu serius Ndu?”, tanya Bagas. Aku tuh gak pernah seserius ini Gas”, jawabku dan mengagguk.

Kami pun berjalan bergandengan tangan. Dan sudah sedari tadi aku merasakan kehadiran Maya. Dia berjalan dibelakangku sambil tersenyum senang melihatku dengan Bagas.


Posting Komentar

0 Komentar