Bali The Real Paradise, Tapi Bukan Surganya Sampah!



Bali The Real Paradise, Tapi Bukan Surganya Sampah!


Bali merupakan salah satu pulau di Indonesia yang memiliki keindahan pantai eksotik dan selalu menjadi destinasi wisata para wisatawan domestik dan mancanegara. Keindahan pantainya mampu menghipnotis siapapun yang memandangnya. Namun, Bali memiliki permasalahan sampah yang semakin hari semakin saja bertambah. Sungguh sangat merusak pemandangan apabila terlihat satu saja sampah yang dibuang sembarangan.

Seharusnya hal ini menjadi perhatian penting, bukan hanya dari pemerintah, namun juga seluruh masyarakat. Bukan sekadar membuang sampah pada tempatnya, tetapi lebih daripada itu. Seperti, peduli terhadap sampah-sampah kecil disekitar, atau bergabung dengan komunitas peduli lingkungan agar semakin semangat menjaga alam dari sampah-sampah yang mengganggu.

Pantai Berpasir Sampah

Bali The Real Paradise, Bukan Surganya Sampah!
Sumber: merdeka.com

Sering kali terjadi di Pantai Kuta, Badung, Bali tercemari oleh berbagai jenis sampah, khususnya sampah plastik yang mendominasi. Sampah kiriman ini seolah tak pernah bosan menyerbu kawasan pantai Kuta. Tak tanggung-tanggung, berat sampah campuran ini mencapai 50 ton. Kejadian ini bahkan baru saja terjadi dan sudah dibersihkan pada Maret 2021 lalu.

Petugas Dinas Lingkungan dan Kebersihan (DLHK) Badung yang langsung turun tangan membersihkan sampah-sampah yang diikuti beberapa komunitas pencinta lingkungan juga masyarakat setempat. Sampah-sampah tersebut merupakan sampah yang datang dari sungai sekitar kawasan tersebut, lalu menuju pantai yang terbawa ombak dan angin dan terdampar di Pantai Kuta.

Siapa yang Harus Disalahkan?

Tak dapat dipungkiri, setiap tahunnya lautan akan dipenuhi oleh sampah plastik. Bahkan sebuah penelitian mengatakan bahwa, ada sekitar 8 juta metrik ton per tahun sampah yang terapung-apung di lautan.

Permasalahan sampah seakan tidak ada ujungnya ya. Karena, sampah itu berasal dari hal-hal kecil yang lalu terabaikan hingga menjadi masalah yang terlampau besar. 

Dari situlah, lalu muncul sebuah pertanyaan sederhana namun butuh jawaban yang mendalam. Mengapa tidak kita bersihkan saja sampah-sampah itu?

Dilansir dari EcoWatch, Jenna Jambeck, yang merupakan serang peneliti lingkungan berasumsi bahwa, mengangkat sampah dari lautan memang sesuatu yang sangat mungkin untuk dilakukan, akan tetapi akan lebih baik jika kita mencegahnya terlebih dulu dari daratan.

Lantas, mengapa bisa terjadi hal yang demikian? Berikut alasannya.

Lautan itu sangat luas

Lautan adalah kawasan yang sangat kompleks, dan dipengaruhi oleh proses-proses tanpa akhir yang membuatnya selalu berubah dan bergerak dinamis. Lautan memiliki 3 dimensi, saling terhubung, dan tak pernah bisa diprediksi. Lautan yang luas, dinamis, dan arus yang selalu berubah, seolah-olah seperti kekuatan raksasa yang kita takkan pernah pahami secara sempurna.

Di lautan lepas, manusia seringkali tak berdaya menghadapi ombak dan arus raksasa, dan hal-hal lain yang bisa saja terjadi. Pengetahuan dan pengalaman kita akan laut didasarkan pada interaksi yang sangat terbatas. Bekerja di laut sangatlah sulit dan tidak bisa diprediksi.

Pengelolaan sampah sungai hanya sampai di muaranya

Manusia kehilangan kemampuan mengelola sampah plastik jika sampah-sampah tersebut sudah sampai di lautan. Pembersihan laut dari sampah bukanlah bentuk dari pengelolaan sampah, melainkan hanya upaya mengangkuti sampah plastik dari lautan.

Untuk saat ini, polusi plastik di lautan adalah sesuatu hal yang baru dihadapi dan dimengerti oleh dunia. Hampir tidak ada ahli spesialis khusus yang menangani hal ini, tidak ada textbook, kursus, sarjana ataupun mata kuliah yang terkait dengan modul pembersihan sampah plastik dari lautan.

Begitu banyak jenis sampah plastik di lautan

Lautan kita dipenuhi sampah plastik dari berbagai jenis, mulai dari item-item utuh seperti sikat gigi atau botol, hingga potongan-potongan plastik kecil. Sebuah penelitian memperkirakan terdapat 5,25 triliun item plastik dengan berat 269 ton yang sekarang mengapung-apung di lautan seluruh dunia. Dari seluruh item tersebut, ukurannya ada yang sangat kecil dari hanya 1 mm hingga 4,75 mm.

Masing masing potongan sampah mempunyai ukuran dan yang berbeda, juga punya komposisi kimia yang berbeda. Perubahan struktur dan daya apungnya juga mengundang berbagai spesies dan organisme laut yang menjadikannya habitat hidup. Sifat heterogen sampah tentunya menyimpan bahaya, dengan konsekuensi negatif yang signifikan dan berpotensi membahayakan kesehatan ekosistem lautan.

Bayangkan jika kumpulan-kumpulan sampah ini bersatu satu sama lain selama puluhan tahun seiring gelombang laut, baik dari yang kecil yang tak kasat mata hingga yang dapat terkumpul dalam jaring ikan besar.

Melakukan upaya redesain produk berbahan plastik menjadi produk yang bernilai dan berkelanjutan akan menjadi suatu solusi agar bahan tersebut dapat diperbarui dan didaur ulang. Demikian pula upaya ini merupakan bagian dari pencegahan, yaitu membantu pengurangan volume sampah (waste reduction).

Dengan Mengacu Pada Siklus Ekologi untuk Melakukan Prinsip Daur Ulang

Sebagian besar pakar dan peneliti polusi plastik setuju bahwa pembersihan laut dari sampah plastik adalah pendekatan yang radikal, bahkan sering dianggap tidak praktis dan terlalu idealis. Lalu bagaimana?

Salah satu hal yang perlu dipikirkan adalah berpikir dengan prinsip alam itu sendiri.

Dalam prinsip siklus ekologi dikenal sebuah prinsip dasar yang dikenal sebagai cradle-to-cradle (C2C), yaitu model rantai makanan yang tertutup. Semua proses industri dan komersial diharapkan dapat mengikuti siklus tertutup sehingga tidak ada lagi limbah.

Pada dasarnya konsep C2C membagi material dalam proses industri dan komersial ke dalam dua kategori, bahan teknis dan bahan biologis. Bahan teknis hanya boleh menggunakan bahan-bahan sintetis yang tidak beracun dan tidak memberi dampak negatif pada lingkungan dan dapat digunakan berulang-ulang tanpa mengurangi kualitas bahan (daur ulang penuh).

Konsep ini agak berbeda dengan konsep daur ulang konvensional yang selama ini kita pahami, di mana suatu bahan didaur ulang menjadi produk yang lebih rendah (daur turun, downcycling). Contohnya plastik casing komputer didaur ulang menjadi cangkir minuman kemudian didaur kembali menjadi kantong plastik dan terakhir betul-betul menjadi sampah.

Bahan biologis adalah bahan organik yang setelah digunakan dapat dilepas dan diurai kembali ke alam.

Jadi, sudah sepantasnya kita sebagai penghuni bumi, wajib menjaga lingkungan tempat kita berpijak. Bukan seenaknya menginjak tanpa tahu apa yang harus diperbuat. 

Yok bisa yok, untuk lebih bijak sampah plastik, supaya kita sehat, bumi kita selamat. Semoga bermanfaat, sampai jumpa.. 





Ref: 
https://bit.ly/daruratsampahbali
https://www.merdeka.com/peristiwa/pantai-kuta-bali-dipenuhi-sampah-total-mencapai-50-ton.html

Gif: canva


Posting Komentar

0 Komentar