Cerpen: Rencana Termanis | Cerita Si Baperan & Si Norak



Cerpen: Rencana Termanis

Es jeruk yang kupesan sejak sejam lalu, rasanya telah hambar, karena es nya yang telah mencair. Membuatku juga berkali-kali menghela nafas kesal.

Akhirnya, aku putuskan untuk pergi meninggalkan kafe itu. Sebenarnya, aku sudah malas bertemu dia lagi. Karena kejadian ini sudah berulang kali terjadi. Tapi entah kenapa, sore itu aku tak bisa menolak pintanya. 
...
Fauzi, atau Ojik. Dia adalah sahabatku. Kami lahir di bulan yang sama, hanya saja dalam kandungan berbeda. Dia juga tetanggaku. Dari zaman SD sampai duduk di bangku SMA, dia selalu mengantar jemputku. Padahal sekolah kami beda arah. Kalau aku bilang, dia terlalu memaksa. Tapi, "Nggak apa-apalah sayang. Lagiankan dia itu baik," itu alasan ibu dan ayahku mengizinkannya.

Tepat jam 3 sore aku sampai dirumah. Lelah badan selepas bekerja belum lagi berkurang, di tambah lelahnya pikiran karena ulah Ojik yang tak menepati janji.

"Kak.. Kak! Kak Lyraa!" seketika aku terbangun karena panggilan Lana, adik perempuanku.
"Apaan?"
"Ada yang nyari tuh."
"Siapa?"
"Tetangga sebelah"
"Ojik?" Mataku terbelalak, "Iih, awas ya kamu, berani-beraninya datang kesini setelah buat aku nunggu sejam," ucap kegerutuanku sambil berjalan menuju teras.

"Fano?"
"Hai kak Lyra," sapanya balik.
"Ada apa No? Kamu sendirian aja?"
"Umm.. Iya kak. Fano disuruh abang kasih ini ke kak Lyra," aku menerima sebuah kotak berwarna kuning berukuran tak begitu besar, lengkap dengan pita merah yang menghiasnya.
"Apa ini No? Abang kamu mana?"
"Maaf kak, Fano cuma disuruh antar itu aja. Fano balik dulu ya kak," ia pun pamit dan berlalu.

Aku sangat-sangat penasaran dengan isi kotak itu. Dan lalu menuju ke kamar untuk membukanya.

Ada 2 pucuk surat, beberapa foto zadul kami berdua, semacam bungkusan kecil dan sebuah sapu tangan. Sangat teringat jelas, sapu tangan pemberianku secara tak sengaja untuk Ojik. Karena dia sempat terjatuh dari sepeda, dengan darah segar yang perlahan muncul dari lututnya. Ah, cerita masa kecil dulu. Tapi aku belum menemukan titik terang kenapa dia mengirimkan semua ini untukku.

Aku mencoba membuka suratnya, lalu membacanya satu persatu. Tertulis angka disetiap amplopnya. Aku pun mengikuti petunjuknya.

Dalam surat pertama..
"Secangkir hot chocolate, mampu melelehkan suasana hati yang kacau."

Tanpa pikir panjang, aku langsung teringat 'D'Chocokick', kafe sekaligus toko kue coklat yang biasa aku dan Ojik tongkrongi.

Kubaca lagi kalimat berikutnya.

"Hijab kuning dan topi baseball kesukaanmu, kenapa tidak? (Buka bingkisannya)."

Aku membuka bungkusan kecil berwarna kuning. Ternyata isinya adalah, sebuah jilbab segiempat berwarna kuning. Ah, lagi-lagi kuning, batinku bergumam.

Kalimat ketiga tertulis..
"Pakai jilbab dan topi itu. Lalu pergilah 10 menit lagi, dan bawa kotak ini," batinku semakin menggerutu, tapi tetap saja aku lakukan.

"Lyra, kamu yakin mau pakai jilbab kuning ini?" tanyaku depan cermin.

Dengan penuh keyakinan, aku memberanikan diri memakainya, mengambil slingbag, lalu berangkat menuju kafe.

"Dek, kakak pergi dulu ya. Bentar aja kok. Daa.." pamit kilatku pada Lana.

Sampailah ku di D'Chocokick. Lebih cepat dari lompatan seekor kelinci.

Tak lama setelah aku duduk di salah satu sudut, seorang pegawai toko menghampiriku, lalu menaruh 2 cangkir Hot Chocolate mix Latte, Chocolate Traffle Velvety Smooth dan Classic Cheesecake Silky Smooth.

"Silahkan. Permisi."

"Ini pasti buat aku sama Ojik. Rasanya sih pengen makan, tapi aku tunggu saja apa yang akan terjadi selanjutnya."

10 menit berlalu. Akhirnya kuseruput sedikit demi sedikit hot chocolate yang ada di depanku, keburu dingin mana enak, pikirku.

"Eh, aku baru ingat. Masih ada surat kedua-kan.." aku lalu membukanya.

"Lyra!" suara khas ngebass terdengar mengagetkanku dari belakang.
"Iihhh.." aku lalu berkali-kali memukul pundaknya, membuka topi dan mengacak-acak rambutnya, kesal akutu.

Dia malah tertawa, "Lyra, Lyra.. Mending kamu makan dulu deh kuenya, biar hati adem," lagi dia menambahkan tawanya.

Aku yang sedari tadi sudah ngiler karena kue coklat depan mata itu, dan lalu melahapnya. Bodo amat di lihatin orang.

"Pelan-pelan Ra.." serunya setelah menyeruput hot chocolate miliknya, "Habisin dulu deh kuenya, keburu nggak enak entar," sambungnya lagi.

Aku melirik tajam ke arahnya, "Dateng-dateng bukannya minta maaf, malah ketawa terus. Sekarang, apalagi rencana kamu, Haah..?" ungkapku kesal.

Dia masih asik senyum-senyum, entah apa yang ada dalam benaknya, "Kamu cukup makan kue itu aja kok. Setelah itu, kita jalan, mau nggak?" tawar Ojik.

Hela nafasku keluar lagi, "Yaudah.." jawabku ketus.

Sampai suapan terakhir aku merasakan ada hal aneh.

"Hmmh.. Aduh, apaan nih? Eh.." aku seperti mengunyah sebuah besi, dan lalu mengeluarkannya, "Eh, ini cincin ya. Kok bisa. Jiikk.." lagi mataku melirik ke arah Ojik.

Ia malah bersiul, berlagak tak tahu, "Hehe.. Sekarang coba kamu buka surat kedua," pinta Ojik.

Aku pun mengambilnya dari kotak, lalu membuka dan membacanya.

Surat kedua..
"Lyra.. Jadilah istriku, mau ya :D "

Jantungku seakan berhenti sejenak. Otak kiriku mencoba mengolah data lebih keras. Dan hatiku berdesir lembut.

"Aku norak ya?" celetuknya.
"Aku baru tahu kalau kamu bisa juga romantis kayak gini," ungkapku sejujur-jujurnya, "Biarpun norak, tapi.. Aku terima kamu, aku.. mau jadi istri kamu," perasaan ini timbul begitu cepat.

"Syukurlah.. Tapi Ra, ada satu hal yang aku mau bilang, karena ini semua, APRIL MOP!" teriaknya dengan ekspresi sedikit tertawa.

Perasaanku seketika ambyar. Rasanya ingin memesan hot chocolate sebanyak-banyaknya agar hatiku kembali normal.

Aku terdiam, perlahan memunculkan senyum yang terpaksa, dan tertawa kecil, "Ah, kamu ada-ada aja deh Jik. Ini semua, udah selesai kan? Soalnya aku mau balik. Kasihan Lana dirumah sendiri. Bye Jik," seketika aku seperti ingin segera enyah dari tempat itu.

Namun, Ojik menarik tanganku, dan lalu berlutut.

"Sorry Ra.. Aku memang norak ya. Mungkin aku terlalu bahagia, jadinya aku gerogi, hehe.." ungkapnya sambil menggaruk kepalanya, "Ok Ra, sumpah! Kali ini aku jujur, aku sungguh-sungguh. Please! Jangan kabur lagi. Will you merry me, Lyra?" lanjutnya lagi.

Entah sudah berapa kali aku menghela napas panjang satu hari ini.

"Fauziiii.. Aku tahu kamu itu norak. Kamu itu aneh. Kamu itu jahil. Tapi aku terima itu semua. Karena aku juga nggak sempurna, suka marah-marah, tapi kamunya juga sih yang suka bikin aku kesal. Eh, kok aku jadi cerewet gini ya, hehe.." tak sadar entah apa saja yang terucap, "Jadi, aku terima kamu Ojiiik," senyum lembut ini berbalut dengan bahagia, begitupun dengannya.

"Yes! Nggak sia-sia aku mikirin semua ini 3 hari 3 malam, haha.." serunya lagi, dan kamipun pergi meninggalkan kafe favorit itu.

Well.. Yang terjadi sore itu adalah hal termanis yang pernah kualami. Bisa dibilang, kami itu sama-sama aneh. Aku yang baperan, dan Ojik yang norak. But it's okay, begitulah kami adanya.

~ t a m a t ~


Posting Komentar

0 Komentar