Cerpen: Tulusnya Hati



Senin pagi ini, tepat jam 9, baru saja aku membuka toko bukuku. Sudah sekitar 1 bulan ini aku membuka toko buku yang tak jauh dari rumah, cat dindingnya saja masih tercium pekat.

"Halo Mil, kamu udah buka toko ?" tanya Vika diujung telepon.
"Ini baru aja buka. Main deh kesini Vi," ajakku.
"Iya memang aku mau kesana. Mau cari novelnya Kyndaerim. See you Mil."
"Okay, aku tunggu Vi."

Menit demi menit berlalu. Tiba-tiba ada sesuatu yang membuatku terkejut.

*tok tok tok*
Aku lalu melihat ke arah pintu. Ternyata seorang perempuan berpakaian lusuh dengan rambut berantakan, menengadahkan tangan kanannya seolah hendak meminta. Aku langsung mengambil uang 5.000 dan lalu keluar memberikannya kepada pengemis itu. Ia berisyarat yang artinya terima kasih, dan kemudian berlalu. Aku segera masuk dan mencoba melihat kemana arahnya pergi, namun pengemis itu sudah tidak terlihat. Dan lagi-lagi aku terkejut.

"Halo say.. Duh, macet banget deh tadi," ujar Vika yang tiba-tiba masuk memecahkan keherananku.
"Eh, ngagetin aja kamu Vi."
"Lagian kamu lagi lihat apa sih ? Serius sekali," celetuk Vika.
"Sebelum masuk kesini, kamu ada lihat pengemis perempuan nggak Vi ?"
"Aduh Milaa.. Pagi-pagi kok udah ngomongin pengemis sih. Nggak ada, aku nggak ada lihat."
Aku terdiam.

Hari menjelang sore. Aku mulai berberes, hendak menutup toko.

Haikal, sudah menungguku untuk mengantarku pulang. Butuh waktu setidaknya 15 menit untuk sampai ke rumah.

Ohya, Haikal adalah sepupu Vika. Dia memang biasanya menjemputku, karena kantornya tak begitu jauh dari toko bukuku. Lagipula arah rumah kami sejalan.

Di perjalanan aku berpikir, kenapa tiba-tiba bisa ada pengemis yang datang ke toko ya ? Dan setelah aku mencoba melihatnya lagi, Ia tiba-tiba menghilang secepat kilat.
"Hei! Kok diam aja ? Gimana harinya tadi ? Rame nggak yang dateng ?" tanya Haikal.
"Hai, tumben deh tadi ada pengemis yang dateng, terus waktu aku udah ngasih uang sama dia, dia terus ngilang gitu," ceritaku.
"Pengemis ? Bukannya di daerah sini udah di larang ya ?"
"Iya, itu dia, aneh aja. Aku takutnya nanti dia di tangkap lagi sama satpol pp, kan kasian."
"Ya mudah-mudahan besok dia nggak balik lagi ya." kata Haikal mencoba menenangkanku.

Besoknya aku datang lebih awal, karena buku-buku baru akan datang. Dan untuk kesekian kalinya aku terkejut. Pengemis yang aku lihat kemarin sedang berbaring tepat di depan toko bukuku.

Aku lalu mendekatkan diri untuk membangunkannya.

"Maaf, permisi mas. Kenapa tidur disini ?" dengan pelan aku berkata sembari menyentuh lembut pundaknya.
Pengemis itu lalu terduduk, dan seolah meminta maaf..
Aku juga bingung harus gimana. Aku telepon Haikal, tapi nggak ada jawaban. Apa aku harus telepon.. Lalu dia pergi begitu saja, berjalan pelan dengan masih tertunduk.
"Tunggu! Ini ada sedikit makanan," kataku sembari memberi sekotak bekal yang kubawa dari rumah.
dan lagi-lagi dia menunduk, seperti mengucapkan terima kasih, kemudian pergi.
Dari kejauhan aku tersenyum sedih melihatnya dan lalu segera membuka toko.

"Terima kasih, ditunggu kunjungannya kembali," ucapku kepada pengunjung yang baru saja membeli buku.

"Hai Mil, kita makan dulu ya. Sekalian Vika katanya mau ketemu," ajak Haikal. Dan akupun mengiyakan ajakannya.

Sampailah di tempat makan langganan kami Restoran Renon.

"Tuh Vika udah nyampe duluan," seru Haikal.
"Hai Vik," sapaku.
"Hallo.. Duduk. Aku udah sekalian pesan tadi, biar nggak lama. Oiya, Mil, buku Cantik Itu Luka udah masuk belum ?"
"Kayaknya baru besok deh, entar aku kabarin ya. Btw guys, tadi pagi ada gelandangan yang tidur di depan toko deh. Kayaknya udah beberapa hari ini dia tidur di sana, tapi mungkin aku baru tahunya tadi pagi. Kalian ada pernah lihat nggak sih gelandangan gitu di sekitar toko ?" tanyaku serius, karena memang aku merasa ada yang aneh.
Vika dan Haikal saling melirik. Vika menggeleng dan mengangkat kedua bahunya tanda tak tahu.
"Aku juga nggak pernah lihat," sambung Haikal.
Aku terdiam, "Aku ke toilet dulu ya," tak sengaja aku menyenggol tas milik Haikal yang seketika sedikit mengeluarkan isi dalam tasnya, "Eh, sorry Hai," aku lalu berusaha mengambil tas itu, namun Haikal buru-buru meraihnya lebih dulu, "It's okay Mil," ucapnya.

Tepat jam 8 malam, Haikal mengantarku pulang.

"Mila," panggil Haikal.
"'Iya kenapa Hai?" tanyaku.
"Umm.. Nggak kok, aku cuma mau bilang selamat malam," lanjutnya.
Aku tersenyum, "Malam juga Hai, makasih ya, hati-hati dijalan," akupun keluar dari mobilnya dan melambaikan tangan pada Haikal.

Aku dan Haikal bisa dibilang cukup dekat. Padahal kami baru saling mengenal sekitar 3 bulan ini. Vika yang mengenalkannya padaku. Aku rasa Haikal itu memiliki pribadi yang menarik, orangnya baik dan perhatian. Vika juga menyampaikan hal yang sama.

Besok paginya, "Mila, aku lagi di depan rumah kamu. Kita jalan yuk," dengan tiba-tiba Haikal mengajakku jalan.
"Hah.. Pagi buta begini ? Aku mandi dulu ya," seruku.
"Jangan Mil. Aku juga belum mandi kok, haha.. Tapi setidaknya nafasku udah segar, tenang aja," sambungnya.
Aku tertawa, "Yaudah, paling enggak aku juga harus punya nafas yang segar. Wait."

Setelah itu..

"Kamu mau ngajak aku kemana sih ? Kurang kerjaan deh," keluhku sambil menahan dinginnya pagi.
"Nanti kamu tahu sendiri kok," kata Haikal dengan suara ngebass nya.
Aku tersenyum, lalu menyalakan radio mobil.

Setelah sampai..

"Nah, waktunya tepat nih. Ayo turun," seru Haikal.
Aku yang turun dari mobil langsung takjub melihat pemandangan sunrise di Pantai Sanur ini, "Jadi kamu mau nunjukin ini ? Memang bener kurang kerjaan sih kamu Hai," ucapku tersenyum sambil menikmati indah dan hangatnya sinar mentari pagi yang perlahan menenggelamkan kegelapan.

Aku melirik Haikal dengan senyum sinis, "Karena kamu udah ngajak aku kesini, sekarang giliran aku yang ngajak kamu.. mandi di pantaaaiii.." aku lalu berteriak dan menarik tangan Haikal menuju ke laut.
Sontak hal itu membuat Haikal terkejut.

Beberapa saat kemudian..

"Kalau tiap pagi kayak gini, pasti bahagia deh," celetukku tanpa sadar.
"Aku siap kok bahagiain kamu Mil," sambung Haikal, dan mungkin juga tanpa sadar .
Pernyataannya itu membuatku bertanya kembali, seoalh memastikan, "Gimana Hai ?"
"Eh, kamu harus buka toko kan ? Kita pulang sekarang ya," ujar Haikal, dan lalu menyalakan mesin mobilnya.

Setelah sampai di rumahku.

"Bye Hai. Jangan lupa mandi," celetukku tersenyum lalu berlari segera masuk ke rumah.
Haikal menggangguk tertawa kecil.

Tepat pukul 9 pagi, seperti biasanya aku telah sampai di toko. Namun, sebuah kejadian menghentikan langkahku. Ada keramaian di depan toko buku ku. Ada beberapa satpol pp dan seorang gelandangan. Jangan-jangan.. Pikirku..

"Pak! Pak! Ada apa ini ? Jangan kasar gitu dong Pak!" Teriakku kepada salah satu petugas.
"Kami hanya mengamankan gelandangan ini Bu. Dia sudah cukup meresahkan warga sekitar."

Aku terdiam. Akhirnya apa yang kupikirkan terjadi juga. Pengemis itu tertangkap dan aku juga tak bisa berbuat banyak.

Aku yang berdiri cukup dekat dengan gelandangan itu. Dia lalu mengembalikan kotak makan milikku, dan saat kuterima, kotak itu seperti ada isinya, "Apa ini ?" akupun lalu membukanya. Setelah ku buka, ternyata isinya adalah sebuah cincin.

Dan lalu pengemis itu berdiri. Merapikan rambutnya yang awut-awutan, membuka pakaian lusuhnya yang terlapisi pakaian bersih. Aku benar-benar terkejut saat tahu siapa di balik pengemis itu.

"Haikal ?! Kamu ?" responku sungguh absurd.
Sambil berlutut, "Mila, memang selama ini pengemis itu adalah aku. Aku sadar bahwa hatimu memang tulus," Ia lalu mengambil cincin dalam kotak makanku, "Mila.. Maukah kamu menjadi istriku ?" pintanya.
Aku tertawa, "Mungkin sunrise waktu itu semakin meyakinkan hatiku untuk bisa menerima lamaran ini, Ia aku mau jadi istri kamu," dengan hati yang bahagia, aku menjawab dengan pasti. Dan cincin itu telah terpasang manis di jariku.

Sorak sorai terdengar riuh kala itu. Haikal lalu bersalaman dengan para petugas yang telah membantu mensukseskan lamaran ini.

~ S E L E S A I ~


Posting Komentar

0 Komentar