Cerbung: Rindu, Ini Terasa Indah



Cerbung: Rindu, Ini Terasa Indah
Aku Rindu. Aku ini pelajar biasa, biasa dalam hal penampilan juga sedikit cuek. Namun, aku selalu berani dalam bertindak dan suka dengan tantangan. Seperti biasa aku dan Maya bertemu dipersimpangan jalan lalu kami berjalan bersama menuju ke sekolah, karena sekolah kami tidak begitu jauh dari rumah. Hanya sekitar 15 menitan.

“Selamat pagi Mayaa”, sapaku seperti biasa. “Pagi juga Nduu. Tumben kamu udah nungguin aku disini?”, ledekku. “Ah.. Kamu ngeledek aja Ndu. Sekali-sekali aku yang nungguin kamu kan gak apa-apa”,  ujarnya. “Kamu itu ya. Paling juga sekali ini aja”, ledekku lagi. Maya tertawa kecil seperti mengiyakan.
Aku dan Maya adalah pelajar kelas 3 Sekolah Menengah Atas. Aku bersahabat dengan Maya sejak kecil, karena kedua orang tua kami juga sudah dekat sejak lama. Dan kebetulan rumah kami pun tidak begitu jauh, hanya berbeda blok.

Dijalan, aku melihat sebuah amplop yang tergeletak. Lalu aku pun mengambilnya.
“Apaan tuh Ndu?”, tanya Maya padaku. “Surat nih May. Keliatan dari amplopnya sih kayaknya surat cinta. 

Mungkin sengaja dibuang oleh pemiliknya atau bisa jadi terjatuh”, perkiraanku. “Surat cinta? Ya udah, kita baca aja Ndu”, ujar Maya. “Gak ah May. Ini kan punya orang”, aku pun menolaknya. “Memangnya kamu tau siapa pemilik surat itu? Terus ntar bakal kamu balikin gitu?”, tanya Maya. Aku pun berpikir. “Ya aku sih gak tau siapa pemilik surat ini. Tapi aku jadi punya ide deh”, ujarku berpikir cemerlang. “Apaan idenya Ndu?” tanya Maya. “Hmm.. Ntar aja deh aku kasih tau. Eh, kita hampir telat May. Keburu gerbangnya ditutup”, ujarku dan kami pun berlari menuju sekolah.

Saat aku masuk kekelas dan hendak duduk dibangkuku, terlihat buku-buku yang berserakan diatas meja Bagas, salah satu teman sekelasku.

Aku pun heran melihatnya.

“Gas, meja kamu kenapa berantakan gini sih?”, tanyaku padanya. “Eh, Ndu. Aku lagi nyari sesuatu”, jawabnya. “Apaan Gas?”, tanyaku, namun ibu guru sudah masuk kekelas dan aku cepat-cepat membantu Bagas membereskan buku-bukunya.

Tempat duduk Bagas tepat didepan tempat dudukku, lebih tepatnya paling depan. Bagas itu siswa pintar. Namun, penampilannya sangat cupu, dengan kerah yang terkancing rapi dan memakai dasi, juga kaca mata yang tebalnya hampir menyamai pantat botol ditambah rambut yang berbelah tengah. Maka tak heran kalau kerap kali ia menjadi bahan ejekan satu sekolah. Tapi aku tak termasuk dalam kumpulan orang-orang itu, karena aku kagum dengannya, ya karena kepintarannya itu.

Namun, tak sedikit juga yang memanfaatkan kepintarannya itu. Terkadang ada yang menyuruhnya untuk mengerjakan pekerjaan rumah atau selalu meminta jawaban padanya setiap kali ujian.

Bahkan pernah suatu kali aku memarahi mereka yang memanfaatkan kepintaran Bagas. Sejak saat itulah tidak ada lagi yang berani mengganggu Bagas. Namun, mereka jadi mengejekku berpacaran dengan Bagas.
“Terserahlah apa kata mereka”, batinku.

Lima menit sebelum bel istirahat, aku kembali memperhatikan surat yang kutemukan pagi tadi.

“Udah buka aja. Siapa tau itu surat untuk kamu”, ujar Maya yang sok tau. “Ada-ada aja kamu May. Mana mungkin ini surat untuk aku. Dan siapa juga yang mau suka sama aku”, jawabku. “Iya juga sih. Siapa juga yang mau suka sama gadis bawel kayak kamu”, ledek Maya. “Sembarangan kamu May”, ujarku sambil memukul pundak Maya yang empuk itu.

Bel istirahat pun berbunyi. Kami segera menuju kekantin sekolah.

“Oiya Ndu, tadi kamu bilang ada ide tentang surat itu. Apaan?”, tanya Maya mengingatkanku. “Ooh itu. Jadi gini loh May. Gimana kalau sepulang sekolah nanti kita pastiin lagi ditempat jatuhnya surat itu. Siapa tau aja si pemilik surat bakal nyariin suratnya disekitar tempat tadi. Gimana, bagus kan ideku ini?”, jelasku dan meminta pendapat pada Maya. “Hmm.. Bagus sih Ndu. Tapi apa kamu yakin orang itu bakalan nyariin suratnya? Ntar yang ada malah kita nunggu lama lagi”, keluhnya padaku. “Ya aku juga gak tau. Makanya nanti kita pastiin. Ok”, ujarku memberi semangat padanya.

Maya menghela napas panjang, “Kamu kok semangat banget gitu sih Ndu. Padahal kan itu surat bukan punya kamu”, tanya Maya heran. “Iya juga sih”, batinku. “Gak tau juga ya May. Tapi perasaan dalam hatiku yang terdalam, surat ini tuh penting banget, jadi setidaknya kita harus kembaliin ini surat ke pemiliknya”, jelasku panjang lebar. “Dasar gadis aneh kamu Ndu”, ujar Maya yang tak habis pikir melihat tingkah anehku ini.

Jam pelajaran pun selesai dan bel tanda pulang pun berbunyi.

Saat aku dan Maya hendak pulang dan berjalan dilorong kelas, aku melihat Rendy, dia cukup terkenal disekolahku, karena ketampanannya. Selain itu dia juga jago main basket.

“Hai Rindu..”, sapa Rendi padaku lalu berlalu. “Nduu, barusan Rendi itu nyapa kamu. Kenapa kamu diam aja?”, ujar Maya. “Aduuh, biasa aja kali May”, jawabku cuek. “Kamu itu buang-buang kesempatan aja deh. Dasar kamu Ndu”, ucap Maya sambil memukul pundakku.
Hampir sampai aku dan Maya ditempat itu. Namun, terlihat Bagas sedang berjalan didepan kami berdua dengan kepala yang tertunduk, seperti mencari sesuatu.

Bersambung..


Posting Komentar

0 Komentar