Cerpen: Bukan Dia Tapi Kamu



Cerpen: Bukan Dia Tapi Kamu

Waktu itu tepatnya bulan Juli, waktu dimana aku ditinggal bertunangan oleh pacarku. Untungnya kami baru menjalani hubungan itu selama kurang lebih sebulan. Tapi entah kenapa, aku sedikit sulit untuk melupakan saat-saat kebersamaan dalam waktu yang cukup singkat itu dengan dia, Ya Tuhan.


Aku Nada, gadis 20 tahun dan adalah seorang mahasiswi semester 6. Pertama kali aku kenal dengan mantanku itu, sebut saja namanya Aries, karena kedekatannya dengan seorang adik kelasku semasa duduk dibangku SMA, Rangga. Aries dan Rangga itu satu kampus, namun beda semester, tapi mereka satu tim dalam olah raga futsal. Rangga baru semester 3, sedangkan Aries semester akhir.

Berawal dari Aries yang melihat fotoku dengan adikku diprofil facebook Rangga. Foto itu makin terlihat bagus setelah diedit Rangga, pikirku sedikit narsis. Saat Aries melihat foto itu, “Ngga, ini siapa?”, tanyanya sambil menunjuk fotoku yang saat itu memakai kaos biru bertuliskan “I Like Friday”, seingatku. “Oh, dia kakak kelasku dulu Ries. Kenapa?”, jelas dan tanya balik Rangga. “Cantik ya. Single?”, puji dan tanyanya lagi. “Haha, kamu naksir ya?”, ledek Rangga. Dengan sangat serius Aries memperhatikan fotoku itu, “Sepertinya”, jawabnya. Lalu Rangga pun memberikan ID facebook-ku. “Nih, add aja fb-nya”, tawar Rangga. Aries pun langsung meng-add fabebookku.

Setiap kali ada friend request, aku selalu melihat mutual friends-nya. Ternyata cukup banyak juga mutual friends-ku dengannya. Aku pun langsung meng-konfirm-nya.

Pertama kali Aries menyapaku lewat chatting dijejaring sosial itu. Banyak percakapan yang kami obrolkan waktu itu dan dari situlah awal kedekatan kami.

Aku sudah bisa membaca sedikit karakter Aries. Tapi kebanyakan adalah hal baik. Dia juga begitu terhadapku. Selama 2 bulan itu lah kami melakukan pendekatan. Aku merasa cocok dengan Aries dan banyak kesamaan yang kami miliki. Malahan ada seorang temanku bilang bahwa kami itu mirip atau mungkin akan berjodoh. Sedikit berlebihan memang, tapi semoga saja memang jodoh , harapku.

Saat itu kami bertemu ditempat makan favoritku dengan Aries. Sebelumnya memang Aries sudah memberitahuku bahwa akan ada sesuatu hal yang harus ia sampaikan kepadaku. Awalnya perasaanku sudah tak enak. Tapi, mau tak mau hal itu harus aku dengar.

“Nad, aku terima kasih sekali sama kamu karena kamu udah mau nerima aku jadi pacar kamu. Dan aku juga seneng dengan perkenalan kita selama kurang lebih 3 bulan ini. tapi sebelumnya aku minta maaf sekali sama kamu, karena kita harus mengakhiri hubungan ini”, jelasnya dengan memegang erat tanganku. Aku sedikit kaget dengan pernyataannya itu. jantungku seakan berdegup lebih kencang. Namun aku mencoba untuk tegar dan terus mendengarkannya. “Tapi ini semua bukan kemauanku. Semua ini adalah keputusan kedua orang tuaku, karena sudah sejak lama mereka menjodohkanku dengan anak salah seorang sahabat mereka”, lanjutnya. Aku masih tetap mendengarkan. “Aku sudah mencoba menjelaskan, tapi tetap saja mereka tak menghiraukanku. Maaf kalau aku gak bisa berbuat banyak untuk hubungan ini Nad”, makin erat genggaman tangannya padaku. “Kalau memang itu kemauan mereka, apa boleh buat, kamu harus turutin. Aku juga gak bisa bilang apa-apa. Lagian kan kita bisa aja jadi kakak adik, secara kamu lebih dewasa”, jelasku dan Aries mendengarku dengan serius. “Aku juga seneng kok bisa kenal kamu Ries. Kamu itu baik, tampan, rapi, wangi lagi”, ujarku sedikit bercanda dan aku pun menahan air mataku agar tidak menangis didepannya. Aries pun hanya tersenyum.

Setelah perpisahan itu, kami masih tetap berhubungan baik, namun tak sedekat dulu. Dan aku tahu bagaimana aku harus bersikap. Itu juga karena ajaran orang kedua orang ruaku, yang mengajarkan agar selalu tegar setiap menghadapi masalah yang mungkin sudah mengecewakan kita. Anggap saja ini pelajaran bagi kita dan akan ada saat yang indah dimana kita pasti akan mendapatkan yang lebih baik, itu pernyataanku.

Setelah semua kejadian itu, aku pun kembali menjalani masa-masa kesendirianku. Namun bukan berarti galau, hanya saja terkadang masih sering teringat olehnya. “Ya Tuhan, hilangkan dia dari ingatanku, kumohon”, harapku.

“Nad, jalan yuk”, ajak Emmy, sahabatku. “Mau kemana My?”, tanyaku. “Ya kemana ajalah Nad, habis aku liat kamunya sedih terus gitu”, ajaknya lagi. “Hmm.. tau aja kamu My. Yaudah deh”, ujarku. Aku pun bersiap dan bergegas pergi.

Emmy adalah teman baikku sejak diperkuliahan. Emmy sangat mengerti aku, apalagi sekarang ini aku masih suka sedih memikirkan masa-masa pahit kemarin. Dan dia juga tau kalau aku belum sepenuhnya mampu untuk menghilangkan ingatan itu, tapi ia tetap sabar dan terus berusaha agar aku tak terlihat sedih terus menerus.

Sampailah aku dan Emmy di sebuah tempat makan.

“Nad, aku heran deh liat kamu. Kenapa sih sampai sekarang kamu tuh masih terus aja inget Aries. Padahal kan hubungan kalian cukup singkat”,tanyanya penasaran. “Aku juga gak tau kenapa akunya kayak gini My. Aku ngerasa dia tuh udah cocok banget sama aku dan jujur aku sedikit gak terima kalau harus pisah sama dia”, jelasku. “Nad, kamu tuh gak boleh beranggapan kayak begitu. Kayak cuma dia aja lelaki yang ada didunia ini. Enggak kan?”, tegas Emmy. “Iya, aku ngerti My. Tapi, dia itu beda, dia itu tipe aku banget, terus juga kami punya banyak kesamaan My terus..”, belum selesai Nada dengan pernyataannya, namun omongan itu dipotong oleh Emmy, “Hello Nadaa.. Gak cuma satu kali lelaki tipe kamu itu. Malahan mungkin bakalan ada yang lebih baik dari dia nantinya yang bisa bener-bener sayang sama kamu, ngerti!”, jelas Emmy sedikit emosi. Nada terdiam.

“Nadaa.. Aku tuh bukannya marah sama kamu, tapi aku juga gak mau liat kamu terus-terusan sedih kayak gini”, jelasnya lagi. “Iya My, aku ngerti. Aku memang belum bisa sepenuhnya untuk move on dia, tapi setidaknya aku udah berusaha kok My. Tapi mungkin bukan untuk saat sekarang ini. Tolong ngertiin aku ya My”, jelasku balik. “Aku bakal bantu kamu terus kok Nad”, ujar Emmy sambil mengelus pundakku mencoba menenangkan.

“Oh iya Nad, abis ini kita karaoke ya. udah lama aku gak dengar suara merdu kamu”, ajak Emmy. “Berlebihan kamu My. Suara kamu tuh yang serak-serak becek, jadi terdengar seksi”, ledekku. Aku dan Emmy pun tertawa.

Aku pun sampai dirumah dengan diantar oleh Emmy. “Istirahat ya Nad. Jangan sedih-sesih lagi. Kalau ada apa-apa, hubungi aku secepatnya”, pesan Emmy padaku. “Iya Emmy ku sayang. Makasih buat hari ini ya My. Hati-hati dijalan”, jawabku. “Aku balik ya Nad”, pamitnya.

Esok sekitar pukul 11 pagi dan kebetulan mata kuliahku pun sudah kosong, seperti biasa saatnya memanfaatkan jaringan internet gratisan yang ada dikampusku.

“Check, check, check, notification-nya udah kebaca semua. Bales-balesin comment juga udah. Hmm..”, tiba-tiba obrolan pun masuk. “Nadaa..”, sapa Raffi. “Yaa..”, jawabku biasa. “Apa kabarnya? Udah lama ya gak ngobrol”, tanyanya. “Eh, iya. Aku baik. Kamu Fi?”, tanyaku balik. Dan obrolan pun mulai panjang.

Raffi itu temannya temanku. Singkat cerita, waktu itu aku dimintai tolong oleh teman SMA ku untuk menjadi salah satu pemeran dalam film yang mereka buat. Naah, si Raffi itu adalah kameramennya. Disitulah aku mengenalnya, namun tak banyak obrolan yang terjadi pada waktu itu dan setelahnya selama kurang lebih 2 tahun.

Hampir setiap malam aku dan Raffi saling bercerita, baik itu bertukar pikiran tentang hal-hal yang serius atau hanya sekedar bercanda. Sampai pada suatu hari, kami sepakat untuk bertatap muka.

“Well, kita ketemu lagi ya setelah kurang lebih 2 tahun ini”, ujarnya. “Iya Fi. Tapi kamu gak banyak berubah ya Fi, apalagi dari segi fisik”, ujarku sedikit bercanda. “Haha.. Ya beginilah Nad. Kamunya juga gitu kok, malah makin imut kalau aku liat”, jelasnya yang entah bercanda atau serius. Aku pun tertawa, “Bisa aja kamu Fi”.

Aku memperhatikannya sedari tadi. Dari caranya berbicara, bercanda, bawaannya yang tenang, sampai tatapan matanya, semua itu mengingatkanku pada seseorang. Ya, Aries.

“Ya Tuhan.. Apa maksud rencanaMu ini”, tanyaku padaNya.

Kurang lebih satu jam aku dan Raffi berada di tempat makan itu.

“Fi, udah sore nih. Balik yuk. Tapi aku minta tolong dianterin sampai rumah temenku aja ya. Gak begitu jauh kok dari sini”, ajak dan pintaku. “Boleh banget Nad”, ujarnya.

Sesampainya dirumah Emmy.

“Makasih banyak ya Fi. Hati-hati dijalan”, ucapku. “Iya Nad, sama-sama”, ujarnya dan bergegas pergi.

Aku pun langsung bercerita kepada Emmy tentang kejadian tadi. Namun, Emmy tak begitu merespon.

“Udah ah Nad. Cuma perasaan kamu aja itu, perasaan yang gak boleh dilanjutin kalau kamu masih menganggap dia itu Aries”, jelasnya padaku. “Bukan gitu maksudku My. Tapi semuanya itu memang mirip banget sama Aries. Aku gak bisa bohongin perasaanku sendiri”, ujarku sedikit emosi. “Memang perasaan yang gimana yang kamu maksud Nad?”, tanyanya padaku. Aku terdiam. “Ya udah. Sekarang aku anter kamu pulang ya. Kalau kamu memang ngerasa nyaman sama Raffi, aku harap kamu bisa sepenuhnya menganggap dia Raffi dan bukan Aries”, tegasnya padaku.

Didalam kamar, aku mulai merenung. Merenungi tentang apa yang dikatakan Emmy padaku malam tadi.

“Apa aku bisa menganggap Raffi itu Raffi dan bukan sebagai Aries?”, hela nafasku panjang.

Ini yang ketiga kalinya Raffi mengajakku bertemu. Raffi bilang ada yang ingin ia katakan. Ini kesempatanku untuk jujur pada Raffi. Jujur tentang yang selama ini aku rasakan padanya. Semoga saja Raffi tidak marah, harapku.

“Muka kamu kenapa lesu gitu Nad? Kamu sakit?”, tanyanya padaku. “Aku gak kenapa-kenapa kok Fi. Kamu mau bilang apa Fi?”, tanyaku balik. “Sebenarnya dari awal aku nyapa kamu itu ada maksudnya lho Nad”, ujarnya dengan wajah yang sangat tenang. “Maksudnya gimana Fi?”, tanyaku heran. “Maksud untuk lebih deket sama kamu Nad”, jawab Raffi. Aku hanya tersenyum. “Tapi sebelumnya boleh aku jujur sama kamu Fi?”, tanyaku juga sedikit takut Raffi akan marah. “Jujur tentang apa Nad?”, tanyanya penasaran. “Pertama kali kita ketemu, terus aku perhatiin kamu, aku jadi inget sama..”,  pembicaraanku terhenti ketika Raffi menyambung omonganku. “.. Mantan kamu kan”. Aku kaget, “Kenapa dia bisa tau”, batinku. “Aku tau dari Emmy. Kemarin aku chatting sama dia dan dia menjelaskan semuanya sama aku. tapi kamu jangan marahin Emmy ya, dia itu gak salah. Malah aku berterima kasih sama dia, karena udah ngasih tau yang sebenarnya kamu rasain sejak pertama kali kita ketemu Nad. Maaf ya”, jelasnya padaku. Aku masih sedikit kaget, kenapa Emmy gak cerita sama aku.

“Nad..”, panggil Raffi. “Eh, iya Fi. harusnya aku yang minta maaf sama kamu”, ucapku. “Gak apa-apa Nad. aku lanjutin omonganku tadi ya”. aku pun mengangguk. “Nad, kamu mau gak jadi pacar aku? Mungkin ini terlalu cepat. Tapi aku udah ngerasa cocok sama kamu Nad, gak bisa dibohongin nih perasaan”, ujar Raffi dengan tersenyum malu. Disaat aku mau menjawab, Raffi kembali bicara, “Oh iya Nad, sebelum kamu jawab, aku punya syarat buat kamu”, pintanya. “Apa itu syaratnya?”, tanyaku semangat. “Kamu harus bisa anggap aku ini Raffi dan bukan mantan kamu itu, sanggup?”, tanyanya tegas, seakan yakin kalau aku bisa memenuhi persyaratannya itu. aku berpikir sejenak. “Hmm.. Iya, aku sanggup Fi. kamu juga bantu aku untuk move on ya”, jawab dan pintaku balik. Raffi pun mengganguk.

“Berarti, kita udah resmi jadian kan?”, tanyanya lagi, sekedar memastikan. “Iya Raffii”, jawabku sambil tersenyum bahagia.

"jika memang dia,
dari awal mula dan selamanya akan tetap selalu dia,
tapi jika bukan,
dari awal mula dan selamanya tidak akan pernah dia,
dan pasti ada "dia" yang lain
yang jauh lebih baik dari dia yang bukan"

quote by: someone


Posting Komentar

0 Komentar