Cerpen: Sewindu



cerpen cinta


Pagi itu seperti biasa aku menunggu Muti di depan rumahnya, menjemputnya untuk berangkat kuliah bersama. Dengan motor yang dulunya adalah kesayangan Ayahku. Namun sekarang motor ini diwariskan kepadaku. Tapi aku tak mau menyebutnya butut, karena motor ini masih sangat baik bermanufer dijalan. Aku lebih senang menyebutnya motor legend.

Terdengar suara Muti berpamitan dengan orang tuanya. Lalu bergegas kami menuju ke kampus. Setiap pagi aku selalu menunggu momen ini. Membonceng seorang perempuan manis namun tidak manja. Bahagianya tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Kalau kata peribahasa “Cacak seperti lambang tergadai”, yang artinya orang yang sedang kasmaran. Obrolan demi obrolan pun tercipta. Tawa demi tawa pun menghiasi obrolan kami. Dan dengan sigap namun diam-diam, aku mengarahkan spion kiri agar dapat melihat tawa diwajahnya. Ya Tuhan, aku serasa membonceng seorang bidadari yang hendak ku antar ke surga, batinku.

Setelah kurang lebih setengah jam perjalanan, sampailah kami dikampus.

“Tino, nanti kamu pulang duluan aja ya. Soalnya aku mau kerumah Putri, ada yang mau dikerjain,” pintanya padaku.

“Rumah Putri dimana? Mau aku jemput?” tanyaku menawarkan, dan dengan harap dia tak menolaknya.

“Umm.. Nggak usah Tinooo.. Gampanglah kalo mau pulang nanti,” jawabnya dengan senyum khas wajah manisnya dan aku hanya mengangguk dan membalas senyumannya.

Aku masih terdiam duduk di atas motor legend ini. Memperhatikannya berjalan menuju kumpulan teman-teman perempuannya dan seketika hilang dari pandangan. Aku pun tersadar dan berjalan menuju gerombolan lusuh, teman-teman seperjuanganku. Bahagia yang kurasa tadi sejenak terjeda, oleh jam-jam bimbingan skripsi.

Hari ini satu dosen pembimbingku tidak hadir. Sudah jadi makanan sehari-hari menjelang skripsi ya. Padahal baru tadi malam beliau bilang minta ditemui dikampus, malah sekarang kehadirannya alfa. Ditelepon juga nggak nyambung. Alhasil mampirlah aku dan teman-teman ke kantin kampus. Karena disini apa aja ada. Mulai dari makanan ringan seringan kerupuk sampai makanan berat sekelas nasi goreng. Juga berbagai macam minuman, mau yang bening ada, yang warna-warni juga banyak.

Sudah 2 jam kami menghiasi kantin yang tak terlalu luas ini.

“No.. Tetangga tersayang kamu tuh,” kata Dodod sahabatku, dengan kode menaikkan alisnya.
Aku pun langsung melihat kearah yang dimaksudnya. Benar saja, itu Muti bersama teman-temannya.

“Jadi kapan mau nembak No?!” sambungnya yang sontak mengagetkanku. Bagaimana tidak, sudah kurang lebih 8 tahun aku mengenalnya, mengantar jemputnya, membuatnya tertawa, semua itu berani kulakukan, tetapi sama sekali belum berani menyatakan perasaan padanya. Benar-benar payah!!

“Emang nggak bosen jadi ojek dia terus tanpa ada status,” makjleb! aku seperti tersambar petir disiang bolong.

“Ntar keburu ditembak orang lho... Dia yang ditembak, kamu yang mati,” makjleb chapter 2, untung aja sekarang lagi nggak hujan.

Aku hanya terdiam dan mencoba mendinginkan hati dengan menenggak es jeruk pesananku hingga tetes terakhir. Dan dengan segera menuju parkiran kampus menemui motor legend-ku. Mataku berkeliling mencari keberadaan Muti dan happ!! Dari jauh aku melihatnya bersama dengan Putri. Lagi-lagi bibir ini tersenyum atas perintah otakku. Tak bisa kupingkiri, semua yang dikatakan Dodod tadi adalah semuanya benar. Segala kemungkinan bisa saja terjadi jika aku tak segera menyatakan perasaan pada Muti. Namun aku terlambat, mereka sudah lebih dulu masuk mobil Putri.

***

Malam ini langit berbintang, memang tak banyak, namun cukup untuk menerangi malamku yang sedang terduduk dibangku taman halaman depan rumahku. Rumah Muti tepat berada di depan rumahku, hanya di pisahkan dengan sebuah jalan lurus menuju ke gerbang komplek. Ya benar, kami tetangga masa kini dan kebetulan satu kampus tapi beda fakultas, aku anak sastra, Muti kedokteran. Agak jauh dan nggak nyambung ya. Karena biasanya anak sastra itu terkenal nyantai, pakai kaos oblong, sendal jepit, naik motor butut, tapi bukan berarti kami itu males mikir atau bahkan seenaknya. Bayangin nih, bahasa, sejarah dan budaya aja kami pelajari sedalam-dalamnya, gimana lagi kalau sayang sama perempuan, bakal disayang dan diperjuangin sampai titik darah penghabisan. Tarararara.. Tetotet.. Tetotet.. Tetotettot.. Tarararara..

Aku mengenal Muti sejak duduk dibangku kelas 3 SMP. Kemudian bertemu lagi di SMA yang sama. Dan sekarang kuliah di Universitas yang sama pula, hanya beda fakultas. Entah karna kebetulan atau memang jodoh. Aku berharap kemungkinan yang kedua ya, semoga saja.

“Tino.. Lagi ngapain?” aku mengenal suara lembut itu.

“Eh, Muti. Lagi duduk-duduk ngitung bintang nih. Sejak kapan kamu berdiri disitu?” tanyaku penasaran, jangan-jangan sudah sedari tadi dia memperhatikanku, pikirku.

Dengan santai dia membuka gerbang lalu berjalan dan duduk disebelahku.

“Aku lagi butuh temen ngobrol aja. Suntuk dirumah. Nggak apa-apa kan aku kesini?” tanyanya.

“Siapa yang nggak mau sih nemenin gadis manis kayak kamu Mut,” jawabku jujur dari hati yang terdalam.

Muti tertawa kecil sambil menyenggol pelan pundakku dengan pundaknya, "Bisa aja kamu ya."

“Kebetulan tadi aku liat kamu lagi sendirian juga, makanya aku samperin. Siapa tau kamu juga butuh temen ngobrol,” tiba-tiba aku memang seperti diperhatikan, batinku gaduh.

“Tino, cerita yang lucu-lucu dong, kamu kan orangnya humoris,” pintanya padaku.

“Haha.. Cerita lucu? Apa ya?” pikirku.

Cerita demi cerita pun aku ceritakan dengan ending yang pasti membuat gadis manis ini tertawa. Ternyata memang benar, aku ini sesosok polos yang humoris. Bukan, bukan itu intinya. Bisa saja ini kesempatanku untuk mengungkapkan perasaan yang selama ini aku pendam pada Muti.

“Aduuhh.. udah udah udah, cukup Tinooo, cukup, perutku sakit dari tadi ketawa terus,” ekspresi wajahnya itu tak bisa kulupakan, semakin manis.

Aku hanya tersenyum dan mencoba berkata, “Muti... Emm... Aku... Mau...” rasanya sangat berat untuk mengucapkan kalimat itu, apa karena aku memang belum siap? Dan nggak yakin dengan hasil akhirnya?

“Iya, kamu kenapa Tino?” tanyanya.

Aku bingung harus mulai dari mana, “Aku... Mau anter kamu pulang, udah malem” damn!!, batinku.

Muti tertawa, “Hahaa... Ah, iya ya, sampe nggak terasa udah jam 10 aja,” katanya sambil melihat jam di tangan mungilnya.

Kamipun berjalan menuju rumahnya. Angin malam menyejukkan, sedikit ada rasa sesal, karena aku memang belum berani ungkapkan perasaan.

Sesampai digerbang rumahnya, “Makasih ya Tino udah mau bikin aku ketawa malam ini,” ucapnya.

Aku mengangguk dan tersenyum. Melihatnya sampai masuk kedalam rumah.



***


Minggu yang mendung menghiasi langit pagi. Sama seperti hatiku yang sedikit gelap, karena tadi malam aku telah gagal bin gagap menyatakan perasaan pada Muti. Namun di satu sisi aku mendapat secercah harapan. Tadi malam setelah kami mengobrol panjang, Muti mengirim pesan Whatsapp padakuyang isinya meminta tolong untuk menemaninya ke toko buku dan lalu ke rumah Putri. Tanpa pikir panjang aku langsung membalasnya secepat kilat dan mengiyakan permintaannya. Ini kesempatan, semoga ada waktu yang tepat.

Tepat jam 9 pagi ini, aku bersama dengan si motor legend telah siap menunggu sang Muti. Dengan kaos oblong putih ditimpa jaket jeans yang hari ini tampak tak lusuh. Si legend pun ikutan cakep. Persiapan senyum bahagia namun tetap cool, kumenyambut keluarnya Muti dari gerbang rumahnya.

“Hi.. Tino. Ayo berangkat,” harum semerbak parfumnya menambah semangatku hari ini.

Dalam perjalanan, “Semoga hari ini cerah ya Tino,” ucap Muti berharap.

“Tenang aja, hari ini pasti cerah kok. Secerah dan secantik kamu di hari ini,” jawabku sedikit menggombal namun jujur. Akupun mendengar tawa centilnya sambil melihat dari spion motor. Obrolan demi obrolan selalu saja nyambung, seperti ada kabel antara kami.

Hanya butuh waktu 15 menit, sampailah kami di salah satu toko buku ternama di kota ini.

“Mau cari buku apa Mut? Aku bantu cari ya,” tanyaku dan menawarkan bantuan.

“Hmm.. Nggak usah Tino, gampang kok. Aku mau cari novel titipannya Putri nih,” jawabnya.

Sambil menunggu Muti mendapatkan bukunya, aku santai membaca komik. Tak berselang lama, aku melihat Muti telah berada di kasir. Aku pun menyusulnya.

“Udah? Habis ini kita cari makan dulu ya, cacing diperut udah ngamuk nih” ungkapku, karena terlalu asyik memoles legend, aku jadi lupa mengisi perut.

Muti tersenyum mengangguk, "Aku entar minum aja ya, soalnya udah sarapan tadi," sambungnya.

"Iyaa..." jawabku membubuhkan senyum.

Tak jauh dari kawasan toko buku, terlihat gerobak bubur ayam dan lontong sayur di seberang jalan. Kami pun menghampirinya. Ini yang aku suka dari Muti, nggak gengsi makan di pinggir jalan begini. Jadi makin semangat untuk mendapatkan hatinya, batinku bergelora.

Tak sampai 1 menit, 1 mangkuk bubur ayam, 1 gelas es jeruk dan 1 gelas teh manis hangat telah disajikan. Sejenak aku berpikir dan mencoba bertanya, “Muti, kamu nggak malu jalan sama aku naik motor butut kayak gitu?” sesungguhnya pertanyaan ini sudah pernah aku tanyakan beberapa tahun silam.

Muti tertawa kecil sambil menyalipkan rambut ke telinganya, “Kita tuh udah bertahun-tahun kenal, masa gara-gara itu aja jadi malu. Lagian kamu kan yang bilang kalau itu bukan butut, tapi legend. Aku suka kok sama kesederhanaan kamu ini, konsisten. Dan ini kali kedua lho kamu nanya ke aku. Udah ah, makan dulu, tadi katanya laper,” jelasnya tertawa.

Aku sedikit malu. Penjelasannya membuatku besar kepala. Sehingga sambil menyantap bubur ayam, mataku tak kuasa mengalihkan pandangan menuju wajah manisnya. Memperhatikannya saat menyeruput teh manis. Gimana nggak tambah manis coba.

Sampai-sampai Muti memergokiku, "Tinooo... Mangkuknya mau dimakan juga? Buburnya udah habis ituuu..." ledeknya sambil tertawa.

Aku pun jadi salah tingkah, "Eh... Hmm... Ayo Mut kita langsung kerumah Putri. Eh... Hmm... Pak pak, berapa nih pak?" ujarku sambil merogoh dompet, kemudian menyedot es jerukku yang tinggal separuh dan menarik pelan tangan Muti.

Terlihat Muti tersenyum. Mungkin dalam benaknya aku ini adalah orang paling aneh yang pernah dia kenal, batinku.

Aku memegang tangan Muti saat kami akan menyeberang jalan. Masa harus nyeberang dulu ya kalau mau megang tangannya, tertawaku dalam hati.


***

Kurang lebih 30 menit perjalanan, Muti lalu menunjuk salah satu rumah berpagar putih, ya itu rumah Putri. Bersamaan dengan sampainya kami, ada mobil sedan yang hendak parkir didepan rumah Putri.

“Hi, Mut,” sapanya ramah.

Mutipun menyambut sapaannya, “Hi... Pas banget ya nyampenya, ayo masuk,” ajaknya.

Seusai memberikan helmnya padaku, “Thanks ya Tino. Hati-hati dijalan. Daa..” pamitnya dan tak lupa membubuhkan senyuman.

Mereka berdua pun bersamaan masuk kerumah Putri. Akrab, seperti sudah lama kenal, setidaknya itu yang kulihat. Terlihat Putri menyambut kedatangan mereka dengan lambaian. Semangat yang kurasa tadi seolah lenyap, tak bersisa. Rasa cemburu yang sebenarnya tak beralasan, namun sangat menyakitkan. Berbagai pertanyaan dalam otak pun muncul, menumpuk bak gunung yang hendak meletus.



***

Aku membelokkan si legend menuju sebuah kafe yang diberi judul “D’KiThinks”. Tempat ternyaman kedua setelah rumahku sendiri. Aku juga pernah beberapa kali mengajak Muti ke sini. Nggak terlalu berisik, nyaman, menunya enak-enak dan terjangkau, itu yang pertama kali dia bilang waktu pertama kali kami datang kesini. Apa boleh dikata. Sejak kejadian tadi, aku merasa senantiasa diikuti awan mendung. Tinggal nunggu aja kapan hujannya datang.

“Woy!! Ngopi-ngopi sendirian bae..?!” aku mengenal jelas suara cemprengnya, Dodod, sekejap memecah suasana di kafe yang untung saja masih sepi itu.

“Kan udah ada kamu Dod, jadi sekarang kita berdua,” candaku datar sedikit sinis.

Dody celingak-celinguk mencoba memanggil salah satu waitress, ”Mas, pesen espresso 1, sama potato wedges. Nanti yang bayar nih anak muda yang lagi galau, karena hari ini dia lagi ulang tahun, ok,” aku pun meliriknya tajam sambil geleng-geleng dan kubumbui sedikit senyum, tetap sinis.

“Udah dong galaunya. Harusnya kamu itu berterima kasih sama aku, karena masih inget hari bersejarah lahirnya kamu No,” katanya memaksa.

“Iya iya, terima kasih bapak Dodod sahabat terbaik sepanjang sejarah perang dunia kehidupanku,” ucapku kemudian menyeruput Mochaccino milikku.

Android Dodod berbunyi, “Halo Am/Iya lagi diluar nih, gimana?/Oh.. Iya ya kesini aja/D’KiThinks/Ok,” terdengar nada tut tut tut di ujung telepon.

“No, sepupu aku pengen cari tempat nongkrong, jadi aku suruh kesini aja, nggak apa-apakan No?” tanyanya.

“Aku kan bukan owner-nya, Dod. Masa iya aku ngelarang orang dateng,” jawabku ketus, sedikit.

“Ya siapa tau kamu lagi pengen berduaan aja sama aku, wkwk...” tawanya pecah.

“Aseemmm...” namun aku sedikit terhibur karena kehadirannya. Setidaknya aku bisa melupakan kejadian pagi tadi.



***

“Am!! Sini,” teriak Dodod memanggil seorang lelaki yang memasuki kafe.

Dua perempuan berada dibelakangnya. Tampak seorang perempuan tak asing bagiku, bahkan sangat mengenalnya, Muti. Pertanyaan kembali muncul, bahkan lebih banyak. Kenapa Muti bisa kesini? Salah satunya.

“No, kenalin nih sepupu aku, Ilham,” aku pun menyambut jabat tangannya.

Lelaki ini yang ku lihat dirumah Putri tadi pagi.

“Tino,” lanjutku dengan tegas memperkenalkan diri. .

“Loh.. Tino. Kamu sama siapa kesini?” tanya Muti yang kaget dengan keberadaanku.

“Sama aku. Kenalin Dody, panggilan beken Dodod,” belum lagi aku sempat menjawab, pertanyaan Muti disamber duluan oleh Dodod, sambil mengulurkan tangannya dan bersalaman dengan Putri juga. Sempat-sempatnya si cempreng ini tebar pesona, kan dia tau kalau perempuan manis didepannya ini incaranku.

Ruangan berAC ini mendadak panas karena suasana hatiku kacau balau dan terjebak dalam situasi yang sangat tidak kuharapkan ini.

“Mut, temenin ke toilet yuk!” ajak Putri, Muti pun menerima ajakannya.

Dan sekarang hanya ada kami bertiga dimeja ini. Sedikit canggung, karena rasa cemburu yang sudah hampir hilang tadi kembali datang sedikit demi sedikit.

Ilham membuka pembicaraan, “Dod, kasih selamat ke aku dong, karena udah berhasil dapetin hati dia. Yeah!!” jelasnya semangat dengan wajah bahagia bin sumringah.

Makinlah bertambah sakit hatiku, mendengar hal itu.

“Wah wah.. Selamat ya bro! Semoga langgeng ya sampe pelaminan. Sebagai sepupu kental, aku ikut seneng dengernya,” ucap Dodod mendoakan jauh, dan sepertinya aku sudah nggak tahan lagi berlama-lama disini.

Terdengar sayup-sayup suara nyanyian dari arah belakang kami.

Happy birthday Tino, happy birthday Tino, happy birthday, happy birthday, happy birthday, Ti... no...” ternyata suara merdu itu adalah perpaduan dari suara Muti dan Putri, dan Putri membawa satu loyang pizza ukuran medium dengan satu lilin di tengahnya.

Ada apa sebenarnya ini? Kenapa mereka bisa tau hari ini hari jadiku? Dan berbagai macam pertanyaan dengan awal “kenapa” terus bergelut di otakku.

“Dod, aku nggak ngerti ini ada apa..” bisikku pada Dodod.

“Kamu liat aja dulu,” bisiknya balik.

“Kamu pasti heran dan kaget ya kenapa kami semua bisa ada disini?” tanya Putri, dan dengan wajah super heran aku pun mengangguk polos.

“Hanya ada satu orang yang bisa jelasin itu semua,” Putri menyerahkan pizza itu kepada Muti, dan aku jadi makin bingung.

“Sebelumnya sorry banget ya Tinomungkin aku udah buat kamu kesel satu harian ini. Aku semua dalang dari rencana ini. Mulai dari aku tanya-tanya tentang kamu dari Dodod, terus minta tolong ini itu sama kamu, sampe tadi yang nelpon Dodod itu aku, buat mastiin kalau kamu bener ada disini dan jagain kamu biar nggak kemana-mana. Finally, make a wishplease...”

“Bentar-bentar.. Ada yang harus aku tanyain sama kamu. Bukannya kamu udah jadian sama Ilham?” tanyaku penasaran, bahkan sangat.

Muti, Putri, dan Ilham saling pandang dan tersenyum kecil.

Lalu aku melirik Dodod, “Aku nggak ikut-ikutan No...” ucap Dodod dengan bahasa tubuh seakan tak tau apa-apa.

“Aku ini baru jadian sama Putri, tepat di hari ini,” sambung Ilham dengan merangkul Putri.

Entah harus senang atau apa. Rasanya aku ingin sekali menutup wajah ini, karena jujur ada sedikit rasa malu karena kejadian hari ini telah disusun sedemikian rupa dan telah sukses besar membingungkanku.

“Udah bisa ditiup lilinnya?” tanya Muti sambil menyodorkan pizza dan mengkodeku untuk meniup lilinnya.

Aku tersenyum bahagia dan dengan semangat menyatakan, “Aku ucapin doa dulu ya. Muti... Please, be mine,” Dan dengan menyentuh tangan Muti yang sedang memegang pizza itu. Muti mengangguk tegas, jelas dan yakin, pipinya merona, tersipu malu. Sorak sorai diserukan oleh semua orang yang ada di kafe itu.

“Tino, ini buku buat kamu. Sebagai anak satra sejati, kamu harus baca buku satu ini dan harus disimpan baik-baik ya,” pintanya.


Terlihat judul disampulnya 'Pertemuan Djodoh', karya Abdul Muis, “Ternyata buku ini termasuk dalam rencana ya, haha... Makasih banyak ya sayang, aku bakal baca dan simpan buku ini baik-baik dan kamu juga bakalan aku simpan dalam hati,” ah, so sweet ya.




S  e  l  e  s  a  i


Posting Komentar

0 Komentar