Cerbung: Mengejar Rindu [Part III]




~ Puisi dan Rindu ~

Dalam heningnya malam
Termenungku dalam diam

Lalu terdengar dering darimu

Dan sudut-sudut senyumpun terbentuk dari bibirku
Ada yang ungkap sesuatu
Karena jarak yang tak memungkinkan tuk bertemu
Mencoba memadu namun bukan bercumbu
Kini kutahu, bahwa dia kini merindu


"Gimana?" tanyaku pada Rafli.
"Sembaaah! Super bagus loh puisi kamu Ris," serunya dsn terdengar suara tepuk tangan dari ujung .
Aku tersipu, "Aduh, sampai ditepokin gitu, hehe.."
"Ris, kamu nggak pingsankan? Kok diam?" seru Rafli panik.
"Eh, nggak kok, haha.."
"Risty, kamu masih lama ya balik ke Medan?" tanya Rafli yang sedikit gagap.
"Umm.. Belum tahu nih Fli. Kenapa nanya gitu?" akupun berbalik tanya.
"Hehe.. Nggak apa-apa sih, nanya aja. Kalau enggak balik-balik, aku aja deh yang nyusul kesana," celetuk pelan Rafli, sehingga aku bertanya lagi.
"Kenapa Fli, sorry aku nggak dengar. Kamu mau apa tadi?"
"Oh, itu aku mau.. mau.. mau nyusul teman dulu, udah janjian soalnya. Udah dulu ya Ris. Sekali lagi, makasih puisinya," pamit Rafli terburu.
"Oke Fli, hati-hati ya.."
--
Sebenarnya, Rafli menganggap aku apa ya? Pertanyaan itu juga balik lagi ke diri aku sendiri. Selama ini kami baik-baik saja walau tanpa status. Tapi, aku tetap nggak bisa nebak isi hati Rafli. Atau mungkin, dia memikirkan hal yang sama? Entahlah..
--
Besok paginya, sehabis membereskan kamar, aku lalu duduk santai memainkan ponselku. Dan terbacalah pesan dari Rafli.

Sungguh sangat kesal sekedar tuk mengungkap
Mencoba mengartikan sebuah renungan
Namun tak pernah ada sesal yang terhinggap
Karena selalu menanti rindu yang tertanam bagai kenangan

Senyum simpul perlahan menarik sudut-sudut bibir. Seperti sejenak terdiam dalam sejuknya semilir angin yang berhembus. Dan muncul pertanyaan dalam benakku, seperti bertubi-tubi runtutannya. Semakin kesini, aku semakin merasakan hati yang tak tahu ingin dibawa kemana. Kenapa aku bisa berubah begini?
--
Malam ini tak ada obrolan. Aku yang terdiam di balkon kamarku, hanya bisa menatap langit malam itu. Sedikit ada yang hilang memang. Tapi aku tak hiraukan. Mencoba menulis beberapa puisi saja untuk mengisi blogku. Mumpung hati dan pikiran lagi sinkron.
--
"Dek, kok belum tidur?" tanya kakakku, Rasty.
"Belum kak, masih nulis blog. Kenapa kak?"
"Dek, makasih ya udah mau bantuin kakak. Tapi kamu benaran nggak terpaksakan waktu kakak ajak kesini?"
Aku sedikit tertawa.
"Ya enggaklah kak," jawabku santai.
"Umm.. Sebenarnya kakak ada rencana mau ajak ibu kesini. Sebentar lagi kan ibu pensiun, jadi dari pada ibu sendirian di Medan, mending ikut ke sini aja kan. Supaya ibu juga ada yang jagain. Gimana menurut kamu?" jelas kak Rasty.
--
Ibu adalah seorang pegawai negeri. Dan sebentar lagi masa pensiun ibu tiba. Ibu adalah sosok pekerja keras. Menggantikan ayah yang sudah sejak 5 tahun lalu meninggal dunia karena penyakit jantung. Ayah dan ibu memang mendidik kami dengan tegas. Tujuannya adalah membuat kami menjadi sosok yang kuat dan berani, seperti ibu.
--
"Umm.. Sebenarnya aku rindu ibu sih kak," seketika air mataku menetes dengan derasnya.
Kak Rasty yang ikut menangis, mencoba menenangkanku, "Yaudah, nanti kita ajak ibu kesini ya. Yaudah, gih lanjutin nulisnya. Kakak balik ke kamar dulu ya."
Aku tersenyum dan manggut-manggut.
--
Dan tiba-tiba, otakku kembali menemukan ide puisi, tentang ibu.

Merajut haru saat harus ditinggalkannya
Mencoba tetap tegar walau tak ada lagi pujaan hatinya
Berhati lembut namun tegas dalam bersikap
Mengajarkan keberanian untuk tidak mudah tersingkap
Ibu, kaulah panutanku
Sesosok penyayang yang belaiannya selalu kurindu
Tatapannya tak pernah terlihat lelah
Hanya ada semangat yang pantang menyerah
Walau ayah tak lagi mendampingimu
Inilah kesempatan bagi kami putri-putrimu
Untuk segenap jiwa memperhatikan dan merawat hingga akhir hayatmu

Sepanjang memikirkan kata demi kata dalam puisi itu, sembari mengingat wajah ibu, disanalah aku tak dapat menahan air mataku untuk terjatuh.

~ Bersambung ~


Posting Komentar

0 Komentar