Cerpen: Menanti Jarak





Part I: Sebuket Bunga Untuk Vanya

"Van, ada kiriman bunga lagi tuh," seru Delis, teman kantorku.

"Hah.. Lagi? Dari orang yang sama?" tanyaku meyakinkan.

Delis mengangguk, "Udah deh, terima aja. Siapa tahu dia mau ngelamar kamu, hehe.." celetuk Delis.

"Iihh.. Kenal aja enggak, udah mau ngelamar aja," protesku jelas.

"Eh, jangan salah Van. Sekarang lagi musim ta'aruf lho. Kayak artis siapa tuh namanya, Fedi Nuril," lagi celotehan Delis membuatku beranjak dari meja kerja.

Sambil berucap, "Aku kan bukan artis Del, jadi jangan aneh-aneh deh."

"Eh Van! Mau kemana kamu? Ikuutt.." lari Delis mengejarku.

Aku Vanya. Owner di salah satu perusahaan penerbit buku yang cukup ternama di kotaku, dan ini adalah warisan ayahku. Aku selalu di kejar deadline kantor, untuk memilah mana kira-kira tulisan yang lulus sensor dan pantas untuk di terbitkan.

Satu lagi deadline yang harus aku tempuh adalah, mencari jodoh. "Carilah jodoh sampai ke negeri antah berantah", setidaknya itu pesan terakhir ayahku sebelum meninggal karena sakit jantung. Sementara ibuku juga belum lama ini juga pergi menyusul ayah, karena kanker.

Aku yang seorang anak tunggal ini, seakan kesepian, selain ada Delis sahabatku yang selalu bisa membuatku sedikit kesal dengan celotehannya. Ngalahin anak kecil. Memang sih umurnya lebih muda dariku, 5 tahun. Tapi dialah satu-satunya penyemangatku disaat aku sendiri dan lagi bokek, terkadang.

Di tengah wabah Covid-19 ini, aku memutuskan untuk meliburkan sementara 50 karyawanku, dan telah memberikan sejumlah dana untuk mereka selama libur ini. Walau nggak banyak, tapi aku berharap bisa mengurangi beban mereka.

"Van, aku mau belanja persediaan selama 1 bulan nih, kamu mau ikut?" ajak Delis.

"Umm.. Boleh deh, ayo."

Kamipun pergi ke salah satu supermarket yang tak begitu banyak pengunjungnya. Agar mengurangi berdesakan.

Delis lalu menuju ke booth handsanitizer, "Nih, buat jaga-jaga biar nggak kehabisan," celetuknya.

Aku langsung mengembalikan barang yang sudah dia ambil, "Bukan gitu caranya. Ambil secukupnya. Biar yang lain juga dapet," kataku memberi solusi.

"Baik ibu CEO yang terhormat dan paling bijaksana-bijaksini, eh.." lirik Delis bercanda.

Sejam kemudian aku pun sampai di rumah, setelah mengantar Delis pulang.

Ku lihat di depan pintu rumah, ada sebuket bunga mawar merah, lengkap dengan secarik surat.

"Nahlo, bunga dari siapa lagi nih," aku lalu membawa masuk bunga dan juga belanjaanku.

Setelah beres mencuci tangan dan berganti pakaian, aku lalu membereskan barang belanjaan, dan lalu mencuci tangan lagi.

Kuambil surat di sela-sela bunganya, dan membacanya.

"Jaga kebersihan & kesehatan Vanya. Penuh cinta: Ach"

"Ach? Ach?" aku mengingat dengan keras siapa insial itu, tapi gagal.

Aku coba menelpon Delis, "Halo, Del. Kamu ingat nggak kiriman bunga buatku kemaren sama tadi?" tanyaku.

Namun Delis malah meledekku, "Eciee.. Akhirnya penasaran juga nih sama bunga misterius tadi."

"Seriusan Del, soalnya di rumah juga ada yang ngirimin nih, dan ada surat kecilnya gitu, inisial 'Ach'," jelasku.

"Ach? 'Aksi Cepat Hati' kali Van, atau 'Aku akan Cepat Halalin kamu', haha.." lagi dan lagi celetukan aneh Delis terucap.

"Iihh.. Ngawur tingkat dewa deh kamu. Ada-ada aja. Udah ah, besok kamu wajib ke rumahku ya. Dan harus nginep selama 14 hari. Titik," kataku seolah memaksa.

"Wah, wah, ada yang mau mencurahkan segudang isi hatinya niih.. Oke siap bu bos!" jawab tegas Delis.

Belum lagi aku selesai sholat subuh, suara ketukan pintu terdengar dari depan.

"Assalamu'alaikum. Vanyaa.." teriak Delis.

"Wa'alaikumsalam. Aduh Deelll.. Kamu ini ngelindur atau apa sih.. Masa pagi subuh begini kamu udah dateng."

"Hehe.. Kan kamu nggak bilang aku harus dateng jam berapa. Oiya, dapet salam dari mamaku, pesan mama kita harus kudu wajib #dirumahaja, nggak boleh keluyuran, nggak boleh jajan sembarangan, jangan lupa cuci tangan sebelum pegang muka dan makanan, jangan lupa berdoa sebelum makan, sama satu lagi, jangan lupa sering-sering telepon mama. Gitu."

Aku lalu melirik Delis dan bilang, "Siap anak kesayangan mamaaaa.."

Pagi itu akan jadi pagi paling gaduh tapi menyenangkan, walau bersama gadis manja ini. Kami membuat potato rosti, sesuai resep dari chef arnold yang badannya kekar itu.

"Kamu hobi sekali sih masak beginian," seru Delis heran.

"Ini tuh makanan sehat tahu.. Bikinnya juga gampang."

'Ting nung ting nung'

"Eits.. Biar aku yang buka," seru Delis yang langsung berlari ke arah pintu depan.

"Aah.. Bunga lagi bunga lagi.. Sekali-kali cokelat gitu, eh atau bunga deposito gitu lebih berfaedah," celoteh Delis.

"Ini anak adaaa aja celotehannya.. Gih cuci tangan dulu Del, yang bersih," ujarku memaksa.

Selesai sarapan dan berberes, kami duduk santai di teras depan, sambil sedikit berjemur di sela-sela sinar matahari yang mengintip dari dedaunan pohon pucuk merah yang berjajar di taman halaman tetangga.

"Jadi, kamu udah kepikiran belum sama inisial 'Act' itu?"

"Ach.. Belum sih. Aku benar-benar nggak inget."

"Kamu udah coba cek instagram?"

Aku membelalakkan mata dan tersenyum lebar pada Delis, "Kenapa aku nggak kepikiran ke sana ya Del."

Delis lalu sedikit mencibirku dengan mendowerkan bibir bawahnya.

Aku pun mencari di daftar pengikut instagramku. Kira-kira siapa ya, aku pun semakin penasaran.

Part II: Masa Lalu yang Tertinggal

Nafasku tertahan sejenak, setelah menemukan siapa maksud dari inisial itu.

"Achant?" ucapku pelan.

"Hah, Hasan? Yang hidungnya mancung itu? Yang pernah pdkt sama kamu itu? Eh, tapi malah kamu gantungin dia nggak jelas gitu, jahat sekali sih kamu," celoteh panjang lebar Delis.

"Udah ngomelnya? Lagian, itu kan kejadian 10 tahun lalu. Aku masih sibuk dan fokus sama karirku," elakku membela diri.

"Teruuuss.." lirik sinis Delis sambil menaikkan alis matanya.

Aku senyum-senyum kegenitan.

"Yee, mulai genit nih anak. Eh eh, coba aku lihat fotonya.. Loh, sekarang dia jadi dokter? Wah, hebat dong. Keren. Aku kira, dia masih jadi anak band. Udah Van, sikat aja, daripada di ambil orang," lagi-lagi sahabatku yang absurd ini berucap aneh.

Aku menghela nafas lebih dalam.

Malamnya selesai makan, aku dan Delis berbincang santai di balkon kamarku.

"Del, resepsi kamu jadi di tunda sampai kapan?" tanyaku setelah menyeruput teh manis agak panas buatan Delis.

"Belum tahu nih. Mungkin 2 sampai 3 bulan lagi. Nggak apa-apa deh, yang penting nanti pas aku nikah, udah nggak ada lagi yang namanya kopit naintin. Eh eh, Van, gimana teh buatanku? Enak nggak?" celetuknya.

Aku sedikit melirik heran ke arah Delis, "Yaa.. Kayak rasa teh pada umumnya sih Del," jawabku seadanya.

"Del, aku penasaran deh, kenapa ya Achant sering kali ngirim bunga? Kenapa dia masih inget sama aku? Padahal aku bersikap biasa aja sama dia," ungkapku penuh tanya.

"Hello!! Kamu itu sadar nggak sih, bersikap biasapun tapi kalau kamu tetep mau kalau di ajak jalan, sama aja namanya ngasih harapan. Cowok tuh gitu. Nggak mau ribet. Tapi cowok itu, sekalinya dia udah sayang sama cewek, pasti bakal terus berjuang buat dapetinnya. Asalkan si cewek masih single yaa.. Dan khusus untuk cowok dengan predikat sangat-sangat baik, apalagi kalau dia baiikk sekali sama ibunya, udah bisa dipastiin kalau dia juga sayang sama ceweknya. Kayak Aldi, hehe.." celoteh Delis lebih panjang dan lebar.

Tumben nih anak bener ngomongnya. Aku juga tumben membenarkan omongannya. Apa karena teh manis buatannya ya?

Aku terdiam sejenak, merasa bersalah. Namun disisi lain, aku merasa ikut bahagia karena sekarang dia telah sukses menjadi seorang dokter. Yang sebenarnya itu adalah profesi tuntutan orang tuanya. Tapi aku yakin, Achant pasti bersungguh-sungguh ngelakuin ini semua.

"Van.. Vanyaa..! Aku mau bikin teh lagi nih, kamu mau juga nggak?" seketika Delis mengambyarkan lamunanku.

"Nggak Del, makasih. Hidup aku udah cukup manis untuk tersadar dari kesalahan sikap di masa lalu," jawabku antara sadar dan tidak.

Heran Delis dan mengernyitkan kedua alisnya.

Malam semakin larut. Delis telah tertidur pulas. Tapi aku masih terjaga. Masih memikirkan sesuatu yang sedikit membuatku cemas. Entah apa.

Part III: Sebuah Jarak yang Berarti

Besok paginya, kepalaku terasa pusing. Mungkin karena tidurku tak nyenyak. Masih ada yang mengganjal dalam pikiran, seperti rasa cemas yang kian membuat resah.

"Kamu nggak apa-apa Van? Aku buatin sup ya, dan nanti aku buatin wedah jahe resep manjur super ampuh dari mamaku," tawar Delis.

"Makasih ya Del."

30 menit berlalu. Delis membawa semangkuk sup fresh from the oven, dan secangkir wedang jahe dengan beberapa tetes madu.

"Van, jangan terlalu mikirin hal yang nggak kamu tahu akhirnya gimana. Jalani aja waktu sekarang, sambil terus berpikir baik," ungkap Delis yang sepertinya sangat tahu isi hatiku.

Aku tersenyum haru mendengar ucapan Delis, "Kamu udah mandi ya Del?"

"Udahlah. Makanya aku bisa berpikir dan berkata sok bijak gini, hehe.. Eh, ada kiriman bunga lagi tuh, dan ada suratnya juga."

"Del, aku.. Tadi malam mimpi buruk. Kayaknya ini tentang Achant. Dia kirimin aku bunga, tapi bunga itu adalah yang terakhir. Kira-kira maksudnya apa ya Del?" aku mengungkapkan kecemasanku akhir-akhir ini.

"Nggak usah ngira apa-apa deh. Ohya, aku ambilin suratnya ya," Delis pun menuju ruang tamu.

"Banyak hal yang terjadi, karena adanya jarak yang belum ingin pertemukan kita."

'Ach' "

"Del, ternyata ini yang aku cemaskan semalaman," ungkapku pilu.

Delis lalu memelukku erat. Mencoba menenangkanku.

"Van, masak yuk. Kamu kan janji mau bagi resep brownis kukus yang pernah kamu bawa ke kantor waktu itu," Delis mencoba mengalihkan rasa sedihku, dan ia selalu saja berhasil.

Aku lalu mengambil bahan-bahan yang diperlukan. Kemudian, kami mulai membuat brownis cokelat dengan ceria.

"Akhirnya selesai juga. Hmm.. Enaknyaa.. Kayaknya enakkan ini deh dari yabg kemarin. Apa karena ada sentuhan tanganku ya, makanya enak, hehe.." seru Delis.

"Iya deehh.." terdengar suara dering Hp-ku, "Eh, siapa ini ya? Halo.." aku langsung menjawabnya.

"Vanya, aku ada di depan rumah kamu, sekarang," terdengar suara lelaki, sepertinya aku mengenalnya.

Tanpa pikir panjang, aku berlari membuka pintu depan, dan lalu..

"Hai Vanya.. Masih ingat aku?" sapanya lagi dan seolah mengingatkan.

"Achant.. Kenapa kamu nggak tutup telponnya? Kamu kenapa berdiri di gerbang gitu?" aku yang berdiri di teras, dan melihat ke arah Achant.

"Sementara ini aku ingin ada jarak diantara kita. Vanya, aku.. Jadi relawan di RS Kasih Ibu, sudah hampir 4 bulan ini," ungkapnya.

Sontak hal itu membuatku terkejut, "Kamu benar-benar menjalani sumpahmu sebagai dokter. Semoga kamu selalu sehat ya Chant. Umm.. Aku.. minta maaf soal.." ucapanku lalu di timpal oleh Achant.

"Van.. Aku akan coba lagi. Coba terus. Ya berharap semuanya terjawab pasti. Aku.. Aku akan kembali lagi setelah semua ini mereda. Aku janji, aku janji tak akan ada lagi jarak antara kita," ungkap yakin Achant sambil tersenyum.

"Umm.. Chant. Semangat ya. Aku doakan kamu selalu sehat."

Senyuman tulus ia lemparkan, dan menatap teduh, penuh haru. Ia lalu pamit, melambaikan tangan kepadaku.

Walaupun aku telah bertemu langsung dengan Achant, tapi disisi lain aku khawatir.. Aku menghela nafas panjang.

"Van, dia pasti baik-baik aja. Nggak akan ada virus yang berani menghalangi pertemuan kalian," seru Delis.

"Iya sih Del. Tapi, yang dia lakuin itu resikonya besar. Bisa ajakan dia.." aku menutup mulutku, lalu menangis.

"Aku tau kok perasaan kamu. Tenang Van, ini semua pasti berlalu dengan segera."

Aku terus merenung sepanjang malam. Memikirkan keadaan Achant. Ya walaupun sebenarnya dia sehat saat kami bertemu tadi.

Waktu berjalan begitu cepat. 1 bulan berlalu, sejak diberlakukannya lockdown oleh pemerintah, sang virus sedikit demi sedikit tak lagi memakan korban. Namun rasa cemasku belum juga hilang. Sudah semenjak kami bertemu, Achant tak pernah lagi menghubungiku. Aku tak ingin berpikir banyak, apalagi hal negatif.

"Van, kamu udah siap? Ayo, kita berangkat," ajak Delis yang telah bersiap menuju ke kantor, kembali beraktivitas seperti biasa.

"Ayo!" aku pun keluar dan mengunci pintu, lalu menuju ke garasi mobil, "Del, tolong buka gerbangnya ya," seruku meminta tolong.

Aku melihat Delis tak beranjak dari gerbang, dan lalu menyuruhku keluar mobil.

"Aduuh, ada apa sih.." aku lalu keluar mobil, kemudian muncul sosok berbaju putih rapi dari pintu gerbang.

Aku terkejut bukan kepalang, "Achant? Kamu.. Kok.. Bisa.. Ada.. Disini.. ?" seketika aku menjadi gagap.

"Vanya, mungkin waktu ini kurang tepat untuk aku ngelakuin hal romantis. Tapi, aku benar-benar nggak mau hanya karena virus aku jadi nggak bisa berekspresi sebagaimana mestinya."

Aku mulai bingung dengan maksud dan tujuannya, "Maksud kamu apa Chant?"

Ia tertawa, "Aku ngomong apa ya barusan.. Btw, Vanya.. Will you marry me?" ungkapnya dengan berlutut di hadapanku.

Lagi-lagi aku menutup mulutku, terkejut mendengar ungkapannya yang terasa begitu cepat.

"Vanya.. Aku telah kembali normal menjadi seorang dokter biasa dengan segala kekurangannya. Maukah kamu menyempurnakan kekuranganku dengan menjadi pendamping hidupku?" sambungnya lagi.

Aku merasa ini adalah hal teromantis yang pernah terjadi di depan mataku.

Aku lalu mengangguk yakin, "Yes, aku.. Eh, yes, i will.." kegagapanku masih sedikit terasa.

Achant lalu memasangkan cincin itu di jari manisku. Ia lalu berdiri.

"Perlukah aku di semprot disinfektan?" celetuknya.

Aku tertawa, dan kami pun berpelukan. Delis yang sedari tadi berdiri dekat gerbang menyaksikan kejadian pagi itu mengungkapkan, "Aduuh, bakal ada yang nyalip tanggal pernikahan aku sama Aldi nih," lirik senyum Delis.

"Eh, bisa jadi sih.. haha.."

Pagi itu menjadi pertanda, bahwa kejadian semengerikan apapun, pasti akan berlalu dengan segera. Seperti kisahku dan Achant. Jika sudah saatnya kami bertemu, maka akan kembali dipertemukan dengan cara yang indah. Tak ada lagi jarak yang akan menghalangi.


~ T A M A T ~

Gif: tenor.com


Posting Komentar

0 Komentar