Cerbung: Raihan & Hana (Part IV - end)




Ayah! Ayah! Bangun Ayah," aku terkejut saat melihat Ayah tergeletak di kamar mandi, aku panik setengah mati.

Aku langsung menelpon ambulance, dan Ayah segera dilarikan ke rumah sakit terdekat.

Sekitar kurang lebih 20 menit aku menunggu, akhirnya dokter keluar dari ruangan Ayah.

"Ayah saya gimana dokter?" tanyaku dengan suara bergetar.

"Ayah Anda sepertinya terjatuh, karena ada luka seperti benturan dikepalanya. Silahkan masuk. Saya permisi dulu," penjelasan dokter membuatku sedikit lega.

"Makasih dokter," aku masuk menemui Ayah, namun Ayah masih belum sadarkan diri.

"Ayah... Ayah..." aku menangis deras sambil menggenggam tangan Ayah.

Aku mencoba menghubungi Mas Raihan, tapi aku lupa, Ayah tidak memperbolehkanku memiliki nomor Mas Raihan, begitu juga sebaliknya. Karena Ayah memang melarang kami terlalu sering bertemu atau berkomunikasi sebelum status hubungan kami benar - benar jelas.

Namun kebetulan saja Mas Raihan menelpon ke nomor Ayah, "Assalamu'alaikum,"

"Wa'alaikumsalam. Mas Raihan, ini Hana. Ayah masuk rumah sakit, karena terjatuh dari kamar mandi," jelasku padanya.

"Ya Allah, dirumah sakit mana? Kamar nomor berapa? Aku segera kesana ya," kata Mas Raihan, terdengar nada panik dari suaranya.

Aku kelelahan, dan akhirnya tertidur desebelah Ayah.

"Hana, maaf membangunkanmu. Makan dulu ya, aku bawain makan, biar kamu nggak lemas. Tapi aku langsung balik ya Hana, ada yang harus aku urus," ya ampun, nih cowok kesini cuma nganterin aku makan, batinku heran.

"Makasih Mas, harusnya nggak usah repot - repot gini kan," ucapku sangat amat berterima kasih.

"Nggak apa - apa. Kamu jaga kesehatan ya. Aku pamit dulu," Mas Raihan pun lalu hilang dari pandanganku.

***
2 hari berlalu. Namun Ayah masih belum sadarkan diri. Aku terus berdoa dan berdoa. Siska dan Lani juga sudah datang. Mereka memberiku semangat dan doa kepada Ayah.

Sore ini aku ingin pulang sebentar, untuk mengambil sedikit pakaian Ayah dan pakaianku, "Hana tinggal sebentar ya Yah," pamitku. 

Aku pulang menumpang mobil Siska, bersama Lani.

"Hana, jadi udah resmi belum sama bapak dosen ganteng itu? Kan katanya mau dibawa pas wisuda entar," tanya Siska penasaran.

"Apa sih kalian ini. alau soal pendamping wisudanya sih udah fix, hehe..." ucapku malu - malu.

"Akhirnyaaa... Sahabat kita ini punya gandengaaan... Semoga bukan cuma untuk wisudaan," celetuk Lani.

Mereka berdua serentak menjawab 'aamiin. Kami pun tertawa kompak.

"Eh, Han, Han... Itu kan," tiba - tiba Lani seperti melihat hantu.

"Hana. Itu kan Pak Raihan. Dia sama siapa itu, ceweekk!" sambung Siska.

Benar saja, aku melihat Mas Raihan berdua dimobil bersama seorang perempuan. Aku seperti tak percaya. Mobilnya tepat berada disebelah mobil kami, saat itu traffic light.

"Apa perlu aku samperin tuh orang, Han?!" Siska terbawa emosi.

"Jangan Siis. Ayo jalan... Lampunya udah hijau tuh," ujar Lani.

Aku hanya terdiam saat itu. Berpikir sejenak. Dan rasanya aku ingin menarik semua cerita - cerita yang pernah aku sampaikan pada Mas Raihan.

"Kita jangan curiga dulu deh. Bisa jadi itu adiknya atau saudaranya gitu," kata Lani mencoba menenangkan suasana.

"Tapi kan dia nggak pernah nyeritain keluarganya, bener nggak Han?" mereka masih sibuk berdebat.

Dan aku masih saja terdiam.

Setelah sampai dirumah, kami berjalan masuk, "Kamu nggak apa - apa Han? Kita tungguin kamu deh, nanti kita anterin Hana lagi ya Sis," ucap Lani, suaranya mulai mengiba.

Siska mengangguk. Dan aku berbalik memeluk mereka berdua.

"Apa ini yang namanya sakit hati? Nyesek banget rasanya... Aku memang belum anggap dia siapa - siapa, tapi kok rasanya gini banget yaa..." tanpa sadar aku menangis terisak.

"Sabar Han. Yang kuat ya. Sekarang pikirin Ayah kamu aja, biar kamu semangat lagi," kata Siska menguatkanku.

"Maaf ya, Sis, Lan, aku jadi cengeng gini," aku menghela napas sejenak, "Kalian pulang aja, aku nanti bawa mobil Ayah. Aku nggak apa - apa kok. Makasih banget ya, kalian memang sahabat terbaik aku," ungkapku dan kembali memeluk berdua.

"Kita kan sahabat terimut kamu Hana. Kamu hati - hati ya entar. Kita balik dulu," ujar Siska.

Baca juga Puisi: Terlalu Singkat

Aku bergegas mengambil beberapa pakaian, dan kemudian beranjak pergi kembali ke rumah sakit. Namun, aku melihat Mas Raihan turun dari mobilnya dan memanggilku, tapi tak ku hiraukan. Aku melaju tanpa memalingkan pandangan. Seakan tak ingin mendengarkan penjelasan apapun darinya.

Aku sampai dirumah sakit, terlihat Ayah sudah membuka matanya, "Alhamdulillah, Ayah. Ayaah, Hana seneng banget Ayah udah sadar," ungkap bahagiaku.

Ayah tersenyum, dan itu membuat hatiku kembali tenang.

Tepat jam 8 pagi, suster mengantar makanan Ayah.

"Yah, Hana mau tanya. Ayah serius mau jodohin Hana sama Mas Raihan?" Aku iseng bertanya tentangnya.

"Sejak kapan Ayah bilang mau jodohin kamu sama Raihan? Ayah kan bilang, semua pilihan ada ditangan kamu. Yang Ayah tau, Raihan itu orang yang baik, nggak pernah macem - macem, dan dari keturunan keluarga baik - baik juga. Kenapa kamu jadi nanyain soal itu?" Ayah curiga padaku.

"Hmm... Kemarin, aku, Siska, sama Lani, lihat Mas Raihan lagi 1 mobil sama perempuan Yah. Apa Ayah masih yakin untuk percaya sama Mas Raihan?" seketika raut wajah Ayah berubah.

"Kamu sudah tanya sama Raihan siapa perempuan itu? Lebih baik kamu pastikan dulu kebenarannya," nasihat Ayah, sepertinya Ayah memang tidak percaya jika Mas Raihan berlaku aneh - aneh.

"Assalamu'alaikum. Pagi pak, Hana," tiba - tiba saja Mas Raihan datang dengan seorang perempuan, perempuan yang aku lihat tempo hari, dan dia terduduk di kursi roda.

"Apa perempuan ini yang kamu maksudkan Hana?" tanpa basa basi Ayah langsung bertanya padaku, "Nih nak Raihan, ada yang barusan cerita sama saya, katanya dia cemburu," Ayah mulai mengada - ada.

"Hmm... Ayaah..." aku benar - benar tak tau harus berbuat apa.

Raihan tersenyum, "Aku sengaja kesini ingin memperkenalkan sosok perempuan cantik ini sama kamu, Hana. Perempuan yang selama ini menyemangatiku, " pikiranku mulai menebak - nebak, jangan - jangan istrinya, "... menemaniku dan merawatku sejenak saat kecil. Dia ini Nissa, kakakku," aku benar - benar tekejut dengan pernyataannya itu, rasa bersalah dalam hati benar - benar membara.

"Ayah, Ibu dan aku, sempat mengalami kecelakaan. Ayah sempat koma selama 6 bulan lamanya dan aku harus kehilangan kedua kakiku. Syukurlah aku masih bisa merawat Raihan dengan penuh kasih sayang, walau dalam kekurangan," Kak Nissa melanjutkan.

Tak kuasa air mataku menetes, dan dengan spontan aku memeluk erat Kak Nissa.

"Nissa ini juga mahasiswa Ayah dulu. Jadi kamu jangan khawatir, Ayah nggak bakal ngenalin kamu sama orang sembarangan," ucap Ayah.

Dengan mata berbinar - binar, aku tersipu malu.

***
Hari yang dinanti telah tiba. Aku bersama Mas Raihan bergandengan tangan memasuki ballroom tempat dimana aku dan teman - teman akan di wisuda. Sebelumnya aku sudah cerita kepada 2 sahabatku tentang kejadian dirumah sakit.

"Hanaa... Makanya jangan curigaan dulu kalau sama orang tuh," celetuk Lani.

"Tumben ya akhir - akhir ini Lani nggak lemot lagi," ledek Siska.

Tawa kami pun pecah, dan lalu berpelukan sangking bahagianya.

Baca juga Cerpen: Pencuri Hati

Acara demi acara pun terlaksana dengan baik. Ayah yang telah pulih ikut datang melihat pelantikan kami.

"Mohon perhatiannya semua. Maaf, saya mensabotase panggung ini sejenak," aku dan yang lainnya terkejut saat Mas Raihan tiba - tiba berbicara diatas panggung, apa yang dilakukannya?

"... Saya merasa sangat bahagia bisa mengenal sosok perempuan ini, selain cantik, dia juga pintar dan perhatian terhadap keluarga dan sahabat - sahabatnya. Dan, saya berdiri disini untuk mengungkapkan perasaan kepada perempuan tersebut. Rihana Gadis Mulia, will you marry me?" seketika jantungku berdegup kencang.

Siska dan Lani mencoba mendorongku untuk maju ke depan. Lalu Mas Raihan menjemputku, untuk naik ke atas panggung, kemudian dia berlutut, memberikan sebuah cincin, dan mengucapkan lagi kalimat 'will you marry me'?

Dengan keyakinan dalam hatiku, aku mengangguk menjawab 'yess I will'. Senyum lebar melengkung dibibirku.

Sontak 1 ruangan bersorak bahagia diiringi tepuk tangan meriah.

Bersyukurlah kita karena memiliki orang - orang yang peduli dan tulus menyayangi kita.

* E N D *

Cerbung: Raihan & Hana (Part IV - end)


Posting Komentar

0 Komentar