Sebuah Cinta dari Sebuket Bunga [Part III - end]




Aku terdiam sejenak, merasa bersalah. Namun disisi lain, aku merasa ikut bahagia karena sekarang dia telah sukses menjadi seorang dokter. Yang sebenarnya itu adalah profesi tuntutan orang tuanya. Tapi aku yakin, Achant pasti bersungguh-sungguh ngelakuin ini semua.

"Van.. Vanyaa..! Aku mau bikin teh lagi nih, kamu mau juga nggak?" seketika Delis mengambyarkan lamunanku.

"Nggak Del, makasih. Hidup aku udah cukup manis untuk tersadar dari kesalahan sikap di masa lalu," jawabku antara sadar dan tidak.

Heran Delis dan mengernyitkan kedua alisnya.

Malam semakin larut. Delis telah tertidur pulas. Tapi aku masih terjaga. Masih memikirkan sesuatu yang sedikit membuatku cemas. Entah apa.

Besok paginya, kepalaku terasa pusing. Mungkin karena tidurku tak nyenyak. Masih ada yang mengganjal dalam pikiran, seperti rasa cemas yang kian membuat resah.

"Kamu nggak apa-apa Van? Aku buatin sup ya, dan nanti aku buatin wedah jahe resep manjur super ampuh dari mamaku," tawar Delis.

"Makasih ya Del."

30 menit berlalu. Delis membawa semangkuk sup fresh from the oven, dan secangkir wedang jahe dengan beberapa tetes madu.

"Van, jangan terlalu mikirin hal yang nggak kamu tahu akhirnya gimana. Jalani aja waktu sekarang, sambil terus berpikir baik," ungkap Delis yang sepertinya dia tahu isi hatiku.

Aku tersenyum haru mendengar ucapan Delis, "Kamu udah mandi ya Del?"

"Udahlah. Makanya aku bisa berpikir dan berkata sok bijak gini, hehe.. Eh, ada kiriman bunga lagi tuh, dan ada suratnya juga."

"Del, aku.. Tadi malam mimpi buruk. Kayaknya ini tentang Achant. Dia kirimin aku bunga, tapi bunga itu adalah yang terakhir. Kira-kira maksudnya apa ya Del?" aku mengungkapkan kecemasanku akhir-akhir ini.

"Nggak usah ngira apa-apa deh. Ohya, aku ambilin suratnya ya," Delis pun menuju ruang tamu.

""Banyak hal yang terjadi setelah lama tak bertemu.

'Ach' "

"Del, ternyata ini yang aku cemaskan semalaman," ungkapku pilu.
Delis lalu memelukku erat. Mencoba menenangkanku.

"Van, masak yuk. Kamu kan janji mau bagi resep brownis kukus yang pernah kamu bawa ke kantor waktu itu," Delis mencoba mengalihkan rasa sedihku, dan ia selalu saja berhasil.

Aku lalu mengambil bahan-bahan yang diperlukan. Kemudian, kami mulai membuat brownis cokelat dengan ceria.

"Akhirnya selesai juga. Hmm.. Enaknyaa.. Kayaknya enakkan ini deh dari yabg kemarin. Apa karena ada sentuhan tanganku ya, makanya enak, hehe.." seru Delis.

"Iya deehh.." terdengar suara dering Hp-ku, "Eh, siapa ini ya? Halo.." aku langsung menjawabnya.

"Vanya, aku ada di depan rumah kamu, sekarang," terdengar suara lelaki, sepertinya aku mengenalnya.

Tanpa pikir panjang, aku berlari membuka pintu depan, dan lalu..

"Hai Vanya.. Masih ingat aku?" sapanya lagi dan seolah mengingatkan.

"Achant.. Kenapa kamu nggak tutup telponnya? Kamu kenapa berdiri di gerbang gitu?" aku yang berdiri di teras, dan melihat ke arah Achant.

"Kita berjauhan dulu ya.. Aku.. Jadi volunteer di RS Kasih Ibu, sudah hampir 4 bulan ini," ungkapnya.

Sontak hal itu membuatku terkejut, "Kamu benar-benar menjalani sumpahmu sebagai dokter. Semoga kamu selalu sehat ya Chant. Umm.. Aku.. minta maaf soal.." ucapanku lalu di timpal oleh Achant.

"Van.. Aku akan coba lagi. Coba terus. Ya berharap semuanya terjawab pasti. Aku.. Aku akan kembali lagi setelah semua ini mereda. Aku janji," ungkap yakin Achant sambil tersenyum.

"Umm.. Chant. Semangat ya. Aku doakan kamu selalu sehat."

Senyuman tulus ia lemparkan, dan menatap teduh, penuh haru. Ia lalu pamit, melambaikan tangan kepadaku.


Walaupun aku telah bertemu langsung dengan Achant, tapi disisi lain aku khawatir.. Aku menghela nafas panjang.

"Van, dia pasti baik-baik aja. Nggak akan ada virus yang berani menghalangi pertemuan kalian," seru Delis.

"Iya sih Del. Tapi, yang dia lakuin itu resikonya besar. Bisa ajakan dia.." aku menutup mulutku, lalu menangis.

"Aku tau kok perasaan kamu. Tenang Van, ini semua pasti berlalu dengan segera."

Aku terus merenung sepanjang malam. Memikirkan keadaan Achant. Ya walaupun sebenarnya dia sehat saat kami bertemu tadi.

Waktu berjalan begitu cepat. 1 bulan berlalu, sejak diberlakukannya lockdown oleh pemerintah, sang virus sedikit demi sedikit tak lagi memakan korban. Namun rasa cemasku belum juga hilang. Sudah semenjak kami bertemu, Achant tak pernah lagi menghubungiku. Aku tak ingin berpikir banyak, apalagi hal negatif.

"Van, kamu udah siap? Ayo, kita berangkat," ajak Delis yang telah bersiap menuju ke kantor, kembali beraktivitas seperti biasa.

"Ayo!" aku pun keluar dan mengunci pintu, lalu menuju ke garasi mobil, "Del, tolong buka gerbangnya ya," seruku meminta tolong.

Aku melihat Delis tak beranjak dari gerbang, dan lalu menyuruhku keluar mobil.

"Aduuh, ada apa sih.." aku lalu keluar mobil kemudian muncul sosok berbaju putih rapi dari pintu gerbang.

Aku terkejut bukan kepalang, "Achant? Kamu.. Kok.. Bisa.. Ada.. Disini.. ?" seketika aku menjadi gagap.

"Vanya, mungkin waktu ini kurang tepat untuk aku ngelakuin hal romantis. Tapi, aku benar-benar nggak mau hanya karena virus aku jadi nggak bisa berekspresi sebagaimana mestinya."

Aku mulai bingung dengan maksud dan tujuannya, "Maksud kamu apa Chant?"

Ia tertawa, "Aku ngomong apa ya barusan.. Btw, Vanya.. Will you marry me?" ungkapnya dengan berlutut di hadapanku.

Lagi-lagi aku menutup mulutku, terkejut mendengar ungkapannya yang terasa begitu cepat.

"Vanya.. Aku telah kembali normal menjadi seorang dokter biasa dengan segaa kekurangannya. Maukah kamu menyempurnakan kekuranganku dengan menjadi pendamping hidupku?" sambungnya lagi.

Aku merasa ini adalah hal teromantis yang pernah terjadi di depan mataku.

Aku lalu mengangguk yakin, "Yes, aku.. Eh, yes, i will.." kegagapanku masih sedikit terasa.

Achant lalu memasangkan cincin itu di jari manisku. Ia lalu berdiri.

"Perlukah aku di semprot disinfektan?" celetuknya.

Aku tertawa, dan kami pun berpelukan. Delis yang sedari tadi berdiri dekat gerbang menyaksikan kejadian pagi itu mengungkapkan, "Aduuh, bakal ada yang nyalip tanggal pernikahan aku sama Aldi nih," lirik senyum Delis.

"Eh, bisa jadi sih.. haha.."

Pagi itu menjadi pertanda, bahwa kejadian semengerikan apapun, pasti akan berlalu dengan segera. Seperti kisahku dan Achant. Jika sudah saatnya kami bertemu, maka akan kembali dipertemukan dengan cara yang indah.

~ T A M A T ~


Posting Komentar

2 Komentar

  1. Happy ending! Selamat menempuh hidup baru Achant & Vanya :D

    BalasHapus

Haii! Berkomentarlah dengan bijak dan relevan ya. Silakan baca artikel lainnya dan tinggalkan jejakmu. Terima kasih, sampai jumpa!